Tenganan Pagringsingan, Bali Aga
Terjaganya tatanan tradisional kehidupan masyarakat Desa Adat
Tenganan Pegringsingan tak terlepas dari keberadaan awig-awig (aturan adat) yang sangat dihormati dan ditaati warga desa ini.
Konon, menurut penuturan para penglinsgir (tetua) desa ini, awig-awig Desa Adat Tenganan
dibuat pada abad XI, pada awal-awal desa ini mulai didirikan.
Oleh warga Tenganan Pegringsingan, awig-awig itu dikenal dengan nama
“Buku Sakti”. Tebalnya sekitar 58 halaman dan ditulis dalam bahasa Bali.
Namun, seperti diceritakan Mangku Widia, pada hari Kamis Kliwon, Wara Warigadean, Sasih Kadasa,
tahun 1763 Saka atau 1841 Masehi Desa Adat Tenganan Pegringsingan mengalami
musibah kebakaran hebat. Tak hanya pekarangan desa, tempat-tempat suci, Pura
Puseh, Bale Agung hingga surat awig-awig dan surat pamancanggah (riwayat desa) juga ikut
terbakar.
Setelah kebakaran, warga Desa Adat Tenganan Pegringsingan menghadap
Raja Karangasem, I Gusti Gde Anglurah Karangasem. Kedatangan warga Tenganan ini
untuk mohon izin menghadap kepada Raja Klungkung untuk memohon surat awig-awig
Desa Adat Tenganan Pegringsingan yang tersimpan di Puri Agung Klungkung.
Raja Karangasem mengizinkan. Bersama I Gde Gurit, orang-orang
Tenganan Pegringsingan pun menghadap Raja Klungkung, Ida I Dewa Agung Putra.
Sang Raja agung ternyata menyebutkan di Puri Agung Klungkung tidak
ada lagi perihal Desa Tenganan Pegringsingan itu. Awig-awig atau pun surat
pamancanggah itu dikatakan sudah diambil oleh orang Tenganan Pegringsingan
sendiri.
“Namun, aku izinkan kalian orang Desa Tenganan untuk menulis
kembali awig-awig di desa Tenganan sejauh yang bisa kalian ingat”
Begitu titah Raja Klungkung.
Titah Raja Klungkung ini kemudian disampaikan orang Tenganan
kepada Raja Karangasem. Raja Karangasem pun mempersilakan warga Tenganan
menulis kembali awig-awig desanya itu.
Warga Tenganan pun berembuk untuk menulis kembali awig-awig desanya. Untuk penyusunan peraturan itu, warga Tenganan meminta
bantuan I Gde Gurit dan Made Gijanjar dengan dimohonkan oleh mangku di bale
agung.
“Awig-awig hasil penulisan kembali
itu selesai ditulis pada hari Jumat Pahing, Wara Pahang, Sasih Kapat tahun 1764 atau sekitar 1842 Masehi” tutur
Mangku Widia.
Pada tahun 1925, awig-awig itu juga masih disempurnakan lagi. Awig-awig hasil penulisan kembali itu masih ditulis dalam bahasa Bali.
Namun, terjadi penambahan pasal. Jika sebelumnya berjumlah 58 pasal, awig-awig terbaru memuat 61 pasal. Perihal terbakarnya Desa Tenganan
Pegringsingan dan penyuratan kembali awig-awig tersebut diceritakan
dalam pasal 24.
Begitulah, awig-awig Desa Tenganan yang telah tersurat sejak
berabad-abad silam. Jauh sebelum desa-desa adat lainnya di Bali mengenal
istilah penyusunan awig-awig. (b.)
_____________________________
Penulis: I Made Sujaya
Foto: I Made Sujaya
Penyunting: Ketut Jagra
KOMENTAR