Teks dan Foto: I Made Sujaya
Kabupaten Bangli kaya dengan desa-desa kuno, memang. Selain Penglipuran yang terletak di Kecamatan Bangli, masih banyak desa-desa kuno lainnya yang sarat dengan keunikan-keunikan. Desa-desa yang umumnya penganut kebudayaan Bali Aga atau Bali Mula itu cukup banyak tersebar di daerah Kintamani. Di sekitar daerah yang berhawa sejuk ini pula ditemukan banyak tinggalan-tinggalan kuno yang memberikan gambaran kehidupan masyarakat Bali di masa silam. Ada dugaan, daerah Kintamani dulu pernah menjadi pusat kerajaan Bali Kuno.
Kabupaten Bangli kaya dengan desa-desa kuno, memang. Selain Penglipuran yang terletak di Kecamatan Bangli, masih banyak desa-desa kuno lainnya yang sarat dengan keunikan-keunikan. Desa-desa yang umumnya penganut kebudayaan Bali Aga atau Bali Mula itu cukup banyak tersebar di daerah Kintamani. Di sekitar daerah yang berhawa sejuk ini pula ditemukan banyak tinggalan-tinggalan kuno yang memberikan gambaran kehidupan masyarakat Bali di masa silam. Ada dugaan, daerah Kintamani dulu pernah menjadi pusat kerajaan Bali Kuno.
![]() |
Lelaki Bayung Gede |
Salah
satu desa kuno yang cukup penting di kawasan Kintamani yakni Bayung Gede. Desa
ini terletak sekitar 55 kilometer timur laut Denpasar serta sekitar 35
kilometer utara Bangli. Jika Anda ingin ke desa ini, bisa lewat dua jalur. Bisa
dari jalur jalan Payangan-Kintamani. Bisa juga dari jalur jalan
Bangli-Kintamani.
Salah
satu adat yang tetap dipertahankan warga Bayung Gede yakni sistem perkawinan
monogami. Tradisi di desa ini mendidik kaum lelakinya untuk hanya memiliki satu
istri, tak boleh lebih. Jika berpoligami, maka lelaki tersebut diberhentikan
sebagai krama desa ngarep. Lelaki
tersebut akan dikeluarkan dari jajaran 164 krama
desa yang berhak ikut dalam sistem ulu-apad.
Jika dikeluarkan dari jajaran 164 krama
desa ngarep berarti hak-haknya untuk mendapatkan tanah ayahan desa (AYDS) pun hilang.
Menurut
Suwela, orang yang berpoligami dikeluarkan dari keanggotaan ulu-apad karena dianggap telah
mengkhianati sistem ulu-apad itu
sendiri. Menurut Suwela, dasar sistem ulu-apad
yakni konsep bulu-angkep. Seorang
yang boleh ikut dalam keanggotaan ulu-apad
haruslah sepasang.
“Hak
dan kewajiban antara krama laki-laki
dan perempuan yang ikut dalam keanggotaan ulu-apad itu sama. Jika orang sudah
memiliki istri lebih dari satu akan terjadi kepincangan dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban,” kata Suwela.
Namun,
yang paling ditakuti warga Bayung Gede yakni “hukuman” niskala jika berpoligami. Menurut Jero Mangku Sriman, orang yang
berpoligami pantang akan tinggal di pekarangan desa. Jika berani tinggal di
pekarangan desa, bencana akan menimpanya.
![]() |
Pekarangan Desa Bayung Gede |
“Istri
keduanya meninggal dunia beberapa lama setelah berpoligami,” tutur Jro Mangku
Sriman.
Ada lagi seorang janda
Bayung Gede yang diperistri oleh lelaki dari desa itu juga yang sudah beristri.
Kebetulan perempuan itu masih kerabat Jro Mangku Sriman. Tak berselang lama,
sang janda itu juga akhirnya meninggal dunia. “Istri
pertamanya malah tetap sehat-sehat saja,” kata Jro Mangku Sriman.
Kejadian
naas lainnya malah menimpa si lelaki yang berpoligami. Setelah mengambil istri
baru, sang lelaki tewas menggantung diri.
Tentu
masih bisa diperdebatkan adakah memang ada hubungan antara musibah yang menimpa
keluarga itu dengan kehidupan berpoligaminya yang dijalaninya. Akan tetapi,
kejadian berulang yang menimpa warga yang menjalani praktik hidup berpoligami
itu mengukuhkan keyakinan warga Bayung Gede mengenai tradisi warisan leluhur
mereka untuk berpantang berpoligami.
Karena
“hukuman” niskala itu, warga Bayung Gede tidak berani menjalani hidup
berpoligami. Bila pun terpaksa harus berpoligami, boleh-boleh saja. Namun,
warga tersebut harus memilih tinggal di luar wilayah pekarangan desa.
Pekarangan desa menjadi tempat terlarang bagi mereka yang berpoligami.
“Itu
pun tidak boleh di dulu (hulu) desa.
Orang yang berpoligami itu mesti memilih tinggal di tebenan (hilir) seperti di sebelah selatan atau barat pekarangan
desa,” kata Wayan Suwela. Tempat yang biasanya dipilih orang yang berpoligami
untuk tinggal yakni di Peludu, sebuah pemondokan di sebelah barat laut
pekarangan desa yang masih merupakan wilayah Bayung Gede.
Jero
Mangku Sriman menuturkan kini ada dua warganya yang menjalani hidup berpoligami
tinggal di Pemondokan Peludu. Kebetulan kedua warganya itu memiliki tanah di sana. Ternyata, kedua
keluarga itu baik-baik saja, tidak mengalami musibah seperti tiga keluarga
berpoligami yang sebelumnya tinggal di pekarangan desa.
Jero
Mangku Sriman tidak secara persis mengerti mengapa di wilayah pekarangan Desa
Bayung Gede menjadi begitu “membahayakan” secara niskala bagi orang yang
berpoligami. Sementara jika tinggal di Dusun Peludu yang masih menjadi wilayah
Bayung Gede tidak terjadi apa-apa. Dia hanya bisa menjawab sederhana bahwa
pekarangan Desa Bayung Gede memang keramat.
Anda ingin tahu asal mula Desa Bayung Gede? Baca artikel INI! (b.)
Anda ingin tahu asal mula Desa Bayung Gede? Baca artikel INI! (b.)
terima kasih pak made sujaya yang telah mempublikasikan desa bayung gede. saya sebagai warga bayung gede meresa bangga akan tradisi dan keunikan yang dimiliki. perkenalkan saya sonder. e-mail sonderiwayan@yahoo.com
BalasHapus