Kritik terhadap kerusakan alam Bali mewarnai puisi Indonesia modern periode 1970-an hingga 2010-an. Para penyair Indonesia, terutama yang berkarya di Bali, menggunakan puisi Indonesia modern sebagai wahana menyampaikan kritik sosial terhadap kerusakan lingkungan di Bali, terutama yang dipicu pertumbuhan sektor pariwisata. Kendati begitu, wacana keindahan alam Bali juga dimunculkan sebagai upaya membangun kesadaran untuk terus menjaga keharmonisan alam Bali.
Hal ini diungkapkan peneliti sastra dari Balai Bahasa Provisni Bali, Puji Retno Hardiningtyas dalam ujian terbuka di Program Studi Doktor Ilmu Linguistik, Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Udayana (Unud), Selasa (26/1). Di hadapan sidang ujian promosi secara luring dan daring yang dipimpin Dekan FIB, Dr. Made Sri Satyawati, M.Hum., itu Retno berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Antara Keindahan dan Kehancuran: Wacana Lingkungan Alam dalam Puisi Indonesia Modern Karya Penyair di Bali Periode 1970-an—2010-an”. Perempuan kelahiran Grobogan, Jawa Tengah, 9 Maret 1981 dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskan. Retno merupakan doktor ke-120 di FIB Unud dan doktor ke-179 di S3 Ilmu Linguistik FIB Unud.
Dalam
menyusun disertasi, Retno dibimbing promotor Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra,
M.Litt.; ko-promotor I, Prof. Dr. I Nyoman Weda Kusuma, M.S., dan ko-promotor
II, Dr. IGAA Mas Triadnyani, S.S., M.Hum. Para penguji yang menilai sekaligus
menyanggah, yakni Prof. Dr. Aron Meko Mbete, Dr. I Ketut Sudewa, M.Hum., Dr.
Dra. Luh Putu Puspawati, M.Hum., dan Dr.
I Wayan Artika, M.Hum.
Menurut
Retno, wacana keindahan Bali dalam puisi-puisi penyair Bali periode
1970-an—2010-an dipengaruhi pandangan hidup masyarakat Bali yang memegang teguh
tri hita karana. Dari konsep
tersebut, penyair merepresentasikan wajah Bali dalam hubunganya dengan Tuhan,
masyarakat, dan lingkungan sekitar di Bali. Pandangan hidup bentukan alam dan
budaya Bali menjadi kehidupan yang keras dan sulit ini secara intensif dan
dominan memengaruhi proses kreatif penyair di Bali. Kaidah-kaidah estetika
pastoral dalam puisi-puisi yang berkaitan dengan wacana keindahan Bali,
meliputi alam, budaya, dan spiritual.
Wacana
kehancuran Bali dalam puisi Indonesia modern karya penyair di Bali periode
1970-an—2010-an mendorong kewajiban manusia untuk menahan diri tidak melakukan
sesuatu yang negatif dan destruktif yang merugikan dan merusak alam semesta
serta segala isinya. “Ada kecenderungan penyair Bali bahwa dalam menciptakan
metafora memanfaatkan simbol-simbol yang mengacu pada kategori human dan kategori being yang terkait dengan isu lingkungan di Bali,” kata ibu dua
orang anak ini.
Promotor
Prof. Dr. I Nyoman Darma Putra, M.Litt., mengungkapkan disertasi Retno telah
melakukan banyak hal bagi puisi Indonesia di Bali, tapi juga meninggalkan
banyak tugas. Disertasi Retno, kata Darma Putra, telah menerabas lahan dunia
sastra Indonesia di Bali dengan menunjukkan betapa dinamisnya sastra Indonesia
di Bali. “Tapi, lahan yang diterabas baru separuh sehingga harus dilanjutkan
dengan membabat rerimbunan pepohonan lainnya untuk makin membuka cakrawala
terhadap dunia sastra Indonesia di Bali,” saran Darma Putra.
Kepala
Balai Bahasa Provinsi Bali, Toha Machsun yang turut hadir secara luring
menyatakan pihaknya berbahagia dan bangga karena salah seorang penelitinya
meraih gelar akademik tertinggi. Toha Machsun berharap ilmu yang didapat selama
menempuh pendidikan doktor membawa berkah dan bermanfaat. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar