Ubud
sebagai sebuah desa telah berkembang cepat menuju sebuah kawasan elite pariwisata
nasional dengan segudang prestasi kelas dunia. Citra utama Ubud, tentu saja kebertahanan
budaya Bali dan keindahan alamnya. Hal itu tak lepas dari tingkah laku
keseharian masyarakat Ubud yang berangkat dari konsep agraris. Areal pertanian
Ubud dikenal subur. Kesuburan itu tidak bisa dipisahkan dari aliran air
melimpah yang dipahami masyarakat Ubud sebagai pasuecan Ida Sane Maduwe Toya. Dalam konteks ini, relasi
eko-spiritual Ubud dan Batur menjadi faktor penting. Bahkan, para tetua Ubud
mengistilahkan Ubud sebagai “anak emas” Batur.
“Kalimat tersebut sangat membekas dalam sanubari masyarakat Ubud kebanyakan dari dahulu,” kata Tjokorda Gde Dharmaputra Sukawati, tokoh Ubud yang juga akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) dalam rembug sastra yang digelar Ubud Royal Weekend dan Puri Anyar Heritage, Sabtu (5/9). Selain Tjokorda Dharmaputra juga tampil IK Eriadi Ariana yang juga Jero Penyarikan Duuran Batur.
Menurut
Tjokorda Dharmaputra, mengenali Ubud sesungguhnya secara tidak langsung
berjelajah mendalami Batur sebagai sebuah daerah yang kental akan hak pemilikan
tanah, sumber air dan tradisi yang selalu menjiwai nafas masyarakat pertanian
di Bali termasuk di Ubud. Segala bentuk limpahan hasil bumi dipercayai
bersumber dari anugerah Ida Bhatari Batur. Melalui pendekatan ilmiah terlihat
jelas bahwa peta aliran sungai Yeh Oos dan Ayung yang mengairi sebagian besar
kawasan pertanian Ubud bersumber dari Kawasan Danau Batur. Pura Gunung Lebah
yang diulas dalam teks Bhuwana Tatwa
Maharsi Markandya pun menyebutkan bahwa desain pemujaan Gunung Lebah yang
dibangun untuk memuja kebesaran Ida Bhatari Batur sebagai Dewi Kemakmuran.
Peranan
Puri Ubud yang memainkan pengaruhnya dari masa pra-kolonial hingga sampai saat
ini masih terlihat tampak jelas dalam usaha membangun relasi sekala niskala
Ubud dengan Batur. Walau tak sepenuhnya sama seperti era lalu dikarenakan
memasuki Jaman Republik, namun harmonisasi dalam bingkai pura, puri, para, pari, dan purana di Ubud
telah mampu menyiratkan adanya nilai-nilai romantisme antara Ubud dengan Batur
hingga saat ini,” kata Tjokorda Dharmaputra.
Sementara
IK Eriadi Ariani menyatakan membaca relasi Batur ke Ubud begitu juga
daerah-daerah lain di Bali Tengah pada prinsipnya adalah membaca jejak evolusi
geologi Batur. Konstruksi-konstruksi ekologi yang dibangun pegunungan Kintamani
sejak 29 ribu tahun silam, yang terbukti melalui penelitian-penelitian ilmiah,
sejatinya dapat meyakinkan jalan bakti masyarakat Bali terhadap entitas alam
semesta yang mewujud sebagai Pegunungan Kintamani. Jika kemudian ada mitos-mitos,
tuturan-tuturan, maupun catatan-catatan tradisional yang mengaitkan keterhubungan
keduanya, ia merupakan simbolisasi sebaran ekologi.
“Berkaca
pada data-data itu, relasi yang telah terbangun sejak masa silam hendaknya
dapat dijaga untuk kemudian hari. Menjaga keterkaitan itu idealnya disertai
dengan pemahaman-pemahaman konsep yang memadai, sehingga relasi yang terhubung
bukan sekadar didasari oleh pernyataan nak
mula keto, yang ujung-ujungnya berhenti pada tingkatan jejaring ritus,”
kata Eriadi Ariana.
Di
era disrupsi seperti ini, imbuh Jero Penyarikan Duuran Batur, penekanan tentang
nilai-nilai perlu diberikan perhatian mendalam. Transformasi bahkan keruntuhan
wujud kebudayaan tidak dapat terhindarkan, namun pewarisan nilai-nilai masih
sangat bisa untuk dilakukan. Wujud kebudayaan Bali ke depan boleh jadi akan
berubah, tetapi esensi pelaksanaannya idealnya tetap jelas seperti sedia kala.
Eriadi
Ariana mengingatkan keberimbangan pemahaman dengan praktik di lapangan, teks
dengan konteks diharapkan dapat mengubah laku-laku beragama dan berbudaya kita
menjadi lebih baik. Harapannya, seiring dengan pelaksanaan yadnya-yadnya berbasis pelestarian lingkungan yang kian masif, tak
ada lagi pencemaran-pencemaran simpul ekologi. Tidak ada lagi praktik
eksploitasi sumber daya alam berlebih maupun praktik membuang sampah di gunung,
laut, sungai, hutan, dan ekosistem-ekosistem lainnya. (b.)
_____________________________________
Teks: Jagadhita
Foto: istimewa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar