Penjor Galungan |
Wayan
Suastika, lelaki asal Karangasem yang puluhan tahun berjualan di Denpasar, pulang kampung menjelang hari raya Galungan, Rabu (19/2). Suastika yang membuka warung kecil-kecilan di seputaran Jalan Gatot
Subroto Timur ini biasanya pulang pada hari Penampahan Galungan. Hari itu dia
memilih menutup warung dan pulang ke Karangasem sejak pagi.
“Galungan,
ya, harus mulih (pulang). Tak hanya
untuk bersembahyang, tapi, yang jauh lebih penting bertemu keluarga,” kata
Suastika.
Pada
hari Penampahan Galungan Suastika pulang kampung halamannya di Karangasem. Pada
hari Galungan sore, setelah selesai bersembahyang, dia akan mampir ke
Klungkung, ke rumah mertuanya. Keesokan hari baru dia kembali ke Denpasar.
“Kebetulan
satu jalur, jadi bisa pulang ke kampung, bisa juga pulang ke rumah mertua,”
imbuh Suastika.
Jika
Suastika pulang saat Penampahan Galungan, Putu Surya, seorang pekerja pers di
Denpasar memilih pulang lebih awal pada Sabtu (15/2). Kebetulan dia memiliki
keleluasaan mengatur waktu bekerja sehingga bisa lebih awal pulang kampung.
“Kalau
Galungan tidak mulih kampung, rasanya
ada yang kurang,” kata Surya.
Bagi
orang Bali, Galungan memang hari istimewa. Karena hari istimewa, orang Bali
tentu menyambutnya juga dengan khusus. Mereka yang tinggal di kota akan lebih
awal pulang kampung. Mulih saat
Galungan bukan lagi sekadar untuk bersembahyang di rumah atau pura di kampung,
tetapi juga media mempererat hubungan kekerabatan di antara orang Bali. Mulih Galungan pun menjadi peristiwa
budaya, tak jauh beda dengan tradisi mudik dalam perayaan Idul Fitri di
kalangan umat Islam. Mulih Galungan,
karena sebagai media bertemu dengan kerabat dan sahabat di kampung, kemudian
menjadi ruang berbagi cerita dan pengalaman tentang sukses atau gagal selama
merantau.
Bukan
hanya itu, mulih Galungan menjadi
momentum saling berbagi di kalangan orang Bali. Mereka yang sukses di kota,
saat mulih Galungan, bakal berbagi
rezeki dengan saudara, kerabat dan sahabat-sahabatnya. Galungan sejatinya
memang sarat dengan semangat berbagi. Sejumlah
tradisi dalam perayaan Galungan jelas menunjukkan hal itu.
Tradisi
mapatung saat Penampahan Galungan,
misalnya. Tradisi memotong daging babi bersama-sama ini dilakukan secara
berkelompok dan setiap anggota kelompok mendapat bagian yang sama.
Tradisi
lain yang juga menunjukkan adanya semangat berbagi di hari Galungan, yakni
pemberian banten jerimpen di hari
Galungan bagi keluarga yang tengah memiliki bayi. Tradisi ini masih dirawat masyarakat
Bali di sejumlah desa di Karangasem dan Buleleng.
Selain itu, beberapa desa juga memiliki
tradisi memberika hadiah banten jerimpen kepada pasangan
pengantin yang menikah dalam rentang waktu sebelum hari raya Galungan. Di
Banjar Pakraman Bongan Gede, Tabanan, tradisi ini diberi nama nekang jerimpen. Krama yang baru
memiliki bayi atau pun menikah sama-sama mendapatkan banten jerimpen dari krama
banjar lain. Prosesi nekang jerimpen
ini biasanya dilakukan setelah masing-masing krama selesai menggelar upacara Galungan.
Di
Desa Jadi, Marga, Tabanan, tradisi serupa juga masih terjaga, tetapi khusus
untuk pengantin baru. Orang-orang di sana menyebutnya nekang jotan. Ini merupakan sebuah hajatan keluarga pasangan
pengantin baru pada hari Galungan setelah menikah. Dalam hajatan itu, pasangan
pengantin baru akan menerima “hadiah” dari para kerabat terdekat atau pun krama banjarnya. “Hadiah” itu umumnya
berupa nasi tumpeng. Namun, ada juga
yang berupa tipat-bantal.
“Itu pertanda Galungan itu memang
mengandung semangat berbagi. Hanya saja, banyak orang kurang menyadari,” kata dosen Institut Hindu Dharma Negeri
(IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana.
Spirit
perayaan Galungan yang utama sesungguhnya membangun kepedulian terhadap sesama
dan kerukunan. Itu artinya, empati dan simpati terhadap lingkungan sangat
penting dijaga.
Kata
orang bijak, berbagi itu indah. Berbagi tidak hanya menunjukkan kepedulian
terhadap sesama dan lingkungan, tetapi juga meningkatkan kualitas diri. Itu
sebabnya, semangat berbagi kini tumbuh di mana-mana, di berbagai kalangan.
Bahkan, tak hanya orang berpunya, mereka yang kemampuan ekonominya biasa-biasa
saja tak ketinggalan memupuk keindahan semangat berbagi.
Di
hari raya Galungan dan Kuningan ini, semangat berbagi selayaknya terus dipupuk.
Pasalnya, makna suatu hari raya, termasuk Galungan dan Kuningan, sejatinya
merawat empati dan simpati terhadap sesama. "Galungan adalah momentum
menjaga kesetiakawanan sosial kita, bukan sekadar berupacara mewah," kata pendharma wacana dan penulis buku-buku agama
Hindu, I Ketut Wiana.
_____________________________________
Teks dan foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar