Sejak subuh,
Ketut Taman sudah berkutat di dapur.
Sabtu (1/12) kemarin, ada satu menu tambahan yang harus disiapkannya: bubur. Sebabnya, hari itu
adalah hari Tumpek Wariga, hari pemujaan Tuhan dalam manifestasi sebagai
penguasa segala tumbuh-tumbuhan. Saat itulah dilakukan upacara khusus di
tegalan atau sawah. Bubur menjadi sarana pokok dalam sesaji yang
dipersembahkan.
“Semua banten mesti diisi sejumput bubur. Ini
sebagai ungkapan syukur dan permohonan untuk mendapatkan anugerah kesuburan dan
kesejahteraan,” kata wanita petani asal Desa Dapdap Putih, Buleleng ini.
![]() |
Bubur dalam sesaji Tumpek Pengatag |
Karena
mempersembahkan sesaji berisi bubur itulah, Tumpek Wariga juga dikenal sebagai
Tumpek Bubuh. Di beberapa tempat lain di Bali, Tumpek Wariga juga disebut
Tumpek Pengatag.
Taman tak hanya
membuat bubur untuk keperluan sesaji. Bubur yang dibuatnya juga untuk santapan
keluarganya. Anak-anaknya bakal menunggu-nunggu sajian bubur sumsum disertai
taburan kelapa parut dan gula merah.
Tak hanya petani
di desa, perempuan Bali yang tinggal di kota juga melakoni tradisi membuat
bubur sumsum saat hari Tumpek Wariga. Nyoman Suryani, warga Denpasar Utara,
misalnya membuat bubur sumsum berwarna hijau. Selain digunakan untuk sesaji,
bubur sumsum itu juga untuk anak-anaknya yang memang menyukai menu satu ini.
Sudah sejak
kanak-kanak Suryani besar dalam tradisi membuat bubur pagi-pagi buta saat
Tumpek Bubuh. Tradisi itu dibawanya hingga mengarungi bahtera rumah tangga.
Memang, saban
hari Tumpek Wariga yang jatuh saban Saniscara Kliwon wuku Wariga, umat Hindu di Bali langsung teringat dengan bubur
sumsum.
Jika Suryani
masih sempat membuat, sebagian besar lainnya memilih membeli bubur yang sudah
jadi. Itu sebabnya, penjual bubur sumsum biasanya akan menambah volume bubur
yang dijualnya saat hari Tumpek Wariga. “Biasanya ada yang sudah memesan bubur
jauh-jauh hari. Ada
yang memang digunakan untuk banten,
ada yang sekadar disantap,” kata Bu Intan, seorang pedagang jaja bali yang juga menjual bubur
sumsum.
Kendati tradisi
membuat dan menghaturkan bubur sudah tumbuh sejak lama, toh tak banyak yang
tahu mengapa saat Tumpek Wariga mesti membuat dan menghaturkan bubur. Pendharmawacana (penceramah) agama
Hindu, I Ketut Wiana, bubur merupakan lambang kesuburan. Perayaan Tumpek Wariga
memang dimaksudkan sebagai ungkapan syukur atas anugerah kesuburan yang
diberikan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sehingga segala macam tumbuhan bisa tumbuh
dengan baik. Tumbuh-tumbuhan itu yang kemudian menjadi sumber kehidupan utama
bagi umat manusia.
Bubur sebagai
sesaji tidak saja muncul saat perayaan Tumpek Wariga. Sejumlah ritual agama
Hindu juga menyertakan sesaji berupa bubur. Dalam upacara pengabenan misalnya, ada sesaji berupa bubur yang disebut bubur pirata.
“Bubuh pirata itu sebagai hidangan untuk
sang pitara yang akan diupacarai. Ini
juga semacam doa agar sang pitara
mencapai kesempurnaan dan keluarga yang masih hidup mencapai kesejahteraan,”
kata Wiana.
Tradisi membuat
dan menghaturkan bubur saat Tumpek Wariga, menurut Wiana, lebih merupakan
tradisi lokal Bali. Tradisi ini kemudian diharmonisasi dengan ajaran agama
Hindu.
Biasanya, imbuh
Wiana, bubur yang dibuat dan dihaturkan saat Tumpek Bubuh berwujud bubur
berwarna merah dan putih. Bubur berwarna merah merupakan lambang purusa, sedangkan bubur berwarna putih
merupakan lambang pradana. Penyatuan
kedua unsur itu menyebabkan lahirnya kehidupan. (b.)
______________________
Teks dan foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar