![]() |
IB Pawanasuta (nomor tiga dari kanan) berpose bersama para penerima hadiah sastra Rancage di Majalengka, Jumat (31/1) |
Novelet
berbahasa Bali, Tresna Tuara Teked karya
IB Pawanasuta menerima hadiah sastra Rancage tahun 2020 untuk kategori karya sastra
Bali. Tresna Tuara Teked diterbitkan
Pustaka Ekspresi tahun 2019 dan merupakan satu-satunya novelet berbahasa Bali yang
menjadi nominasi dan menyisihkan 12 karya lain. Hadiah sastra Rancage diterima
Pawanasuta di Jatiwangi Art Factory (JAF) di Jatisura, Kecamatan Jatiwangi,
Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, Jumat (31/1).
Selain
Pawanasuta, hadiah sastra Rancage juga diberikan kepada H.D. Bastaman untuk
karyanya yang berjudul Ngangang ka Pageto
(sastra Sunda), Robinson Siagian untuk karyanya yang berjudul Guru Honor (sastra Batak), Irul S.
Budianto untuk karyanya yang berjudul Kalung (sastra Jawa), Semaca Andanant untuk karyanya yang
berjudul Lapah Kidah Sangu Bismillah
(sastra Lampung), serta Mat Toyu untuk karyanya yang berjudul Keroong ka Omba (sastra Madura). Selain
itu diserahkan juga hadiah sastra Samsoedi untuk penulis bacaan anak-anak dalam
bahasa Sunda kepada Budi Riyanto Karung untu karyanya yang berjudul Obrolan Ade Erik jeung Lanceukna (6
jilid).
Juri
hadiah sastra Rancage kategori karya sastra Bali, I Nyoman Darma Putra
menjelaskan novelet Tresna Tuara Teked
ditulis dengan bahasa yang lugas, kalimat ringkas, namun dapat mengekspresikan
berbagai perasaan, seperti cinta, culas, iri hati, dan sombong dengan baik dan
dalam. Alur cerita mengalir jelas diwarnai konflik dan tegangan di setiap
bagian sehingga cerita memikat. Narasi cerita berhasil menyajikan latar budaya
Bali yang kaya akan jenis seni pertunjukan. Kekhasan latar dalam novelet itu
terungkap lewat berbagai isu black magic
dan kekuatan gaib yang menjadi bagian dominan dalam sistem kepercayaan dan
kehidupan sosial masyarakat Bali. Ending cerita terlalu cepat karena kurang
eksplorasi tetapi sensible (masuk
akal) karena merefleksikan apa yang terjadi dalam alam nyata, di mana seniman
Bali karena bakatnya bisa mendapat pekerjaan sebagai dosen seni di luar negeri
walaupun tujuan awal mereka berkesenian bukanlah itu.
![]() |
Novelet Tresna Tuara Teked karya IB Pawanasuta |
“Pendek
kata, novelet ini berhasil menampilkan gambaran masyarakat Bali yang kehidupannya
kuat dipengaruhi oleh praktik kesenian dan kepercayaan kekuatan gaib atau
supranatural,” ungkap guru besar sastra di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud ini.
Novelet
Tresna Tuara Tukad yang tebalnya hanya
78 halaman ini menuturkan kisah kasih tak sampai dua pasang pemuda karena dua
alasan berbeda. Yang pertama, percintaan antara I Duduk dengan Luh Kinanti yang
tidak bersambung karena dipisahkan oleh pendidikan dan karier berbeda kota.
Duduk seorang seniman alam yang sangat berbakat yang mendapat pekerjaan sebagai
dosen di Amerika dan menikah dengan orang di sana, sedangkan Kinanti
melanjutkan kuliah di Australia dan akhirnya bekerja serta menikah di sana.
Kedua, kisah kasih tak sampai antara I Made Bungarta dengan Luh Cempaka gagal
karena campur tangan negatif kekuatan guna-guna (black magic). Ayah Bungarta hendak memasang guna-guna pada Cempaka
agar mau kasih pada Bungarta, tetapi langkah itu gagal dan justru black magic itu akhirnya menyakiti ayah
Bungarta, sedangkan Luh Cempaka yang imun dari serangan black magic akhirnya menjadi dukun sakti. Hanya Cempaka yang
akhirnya mampu mengobati ayah Bungarta. Sebelum itu, Cempaka sempat jatuh cinta
pada Duduk, tetapi kalah pesona dengan Kinanti.
Kisah
hidup Duduk (dalam bahasa Bali duduk artinya
‘pungut’) cukup misterius tetapi sebagai tokoh utama atau hero dalam novelet
ini, sejak awal dia memiliki kehebatan. Mulai dari sebagai seniman serbabisa,
mendapat anugerah kekuatan gaib di kuburan, dan selalu berhasil mengalahkan
serangaan black magic terhadapnya.
Darma
Putra memaparkan sepanjang tahun 2019, buku sastra Bali modern (SBM) yang
terbit berjumlah 13 judul, meningkat empat judul dibandingkan tahun sebelumnya
yang mencapai sembilan judul. “Dari 13 buku, terdapat empat antologi puisi,
satu buku hasil karya penulis se-Kabupaten Bangli berjudul Puspanjali (bunga persembahan) dan tiga lainnya karya penyair
tunggal,” kata Darma Putra yang sudah 20 tahun menjadi juri hadiah sastra
Rancage.
Di
luar buku-buku itu, imbuh Darma Putra, karya SBM juga terbit di surat kabar
edisi Minggu, berupa puisi dan cerita pendek. Selain itu, SBM juga terbit dalam
majalah berbahasa Bali Suara Saking Bali,
terbit secara daring. Penulis-penulis yang baru muncul mendapatkan ruang
publikasi di media-media ini sebelum kelak memiliki antologi sendiri yang akan
mewarnai perkembangan SBM ke depan. Sampai Januari 2020, majalah bulanan Suara Saking Bali sudah terbit 39 edisi,
dikelola oleh IDK Raka Kusuma dan para penulis yang sebagian besar pernah
menerima hadiah sastra Rancage. Majalah ini memuat cerita pendek, puisi, esai dan
bentuk tulisan lain dalam bahasa Bali. Selain karya-karya baru, majalah ini
juga memilih secara selektif karya-karya lama yang baik.
Pawanasuta
mengaku bangga dan merasa beruntung karena menjadi bagian dari penerima
penghargaan Rancage yang disebutnya sangat istimewa. Yayasan Rancage, kata
penulis yang juga guru di SMAN 2 Semarapura ini, memiliki perhatian besar
terhadap kebertahanan dan pengembangan bahasa daerah di Indonesia, termasuk
Bali.
Pawanasuta
sudah menulis sejumlah buku antologi puisi tunggal dalam bahasa Bali, antara
lain Pangasih Pamero (2005), Sayonge Joh (2007), buku puisi tiga
bahasa Guwungan (2010), Geguritan Aji Palayon (2006) serta
sejumlah antologi bersama. Pengarang kelahiran Gianyar 21 November 1966 kini
tinggal di Klungkung dan mendirikan serta membina Komunitas Sastra Lentara SMAN
2 Semarapura.
Hadiah
sastra Rancage merupakan hadiah sastra bergengsi yang diberikan Yayasan
Kebudayaan Rancage asuhan sastrawan Ajip Rosidi kepada orang-orang yang
dianggap telah berjasa bagi pengembangan bahasa dan sastra daerah. Pada awalnya
(tahun 1989 hingga 1993), hadiah sastra ini hanya mencakup sastra Sunda, namun
kemudian penghargaan ini juga diberikan kepada dunia sastra Jawa (sejak 1994),
sastra Bali (sejak 1998), dan sastra Lampung (sejak 2008). Hadiah sastra
Rancage tahun 2020 merupakan edisi ke-32 untuk sastra Sunda, 26 kali untuk
sastra Jawa, 22 kali untuk sasrra Bali, kelima kali untuk sastra Lampung,
keempat kali untuk sastra Batak, dan pertama kali untuk sastra Madura. (b.)
__________________
Teks : Sujaya
Foto: Courtesy I Nyoman
Darma Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar