Sabtu
(25/1) besok, warga etnik Tionghoa di seluruh dunia merayakan tahun baru Imlek.
Perayaan serupa juga dilakoni warga Tionghoa di Bali. Berabad-abad, orang Bali
menyambut hangat warga Tionghoa. Bahkan, orang Bali memberikan sebutan khusus
kepada perayaan Imlek sebagai Galungan Cina. Mengapa orang Bali menyebut Imlek
sebagai Galungan Cina?
Orang
Bali juga menjadikan Galungan Cina sebagai penanda musim. Saban Galungan Cina
tiba, orang Bali akan teringat dengan hujan lebat. “Begitu Galungan Cina tiba,
hujan lebat pasti terjadi. Itu pertanda turunnya Batara Cina,” tutur Made
Tunas, seorang warga Denpasar.
Perpaduan simbol budaya Bali dan Tionghoa |
Orang
Bali dikenal sebagai masyarakat terbuka yang mau menerima kedatangan dan
pengaruh etnik serta kebudayaan luar. Bahkan, orang Bali tidak segan-segan
menganggap orang luar dengan latar kebudayaan berbeda itu sebagai saudara atau nyama (kata bahasa Bali yang berarti ‘saudara).
Etnik Tionghoa kerap disebut sebagai nyama
kelihan (saudara tua), sedangkan orang-orang Muslim disebut sebagai nyama selam (saudara Islam).
Menurut
peneliti tradisi lisan dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I
Made Wiradnyana, sikap inklusif orang Bali itu kemudian menjelma kepada
identifikasi kesamaan unsur-unsur kebudayaan Tionghoa dalam kebudayaan Bali. Apa
yang ada dalam kebudayaan Cina dianggap sama dengan apa yang ada dalam
kebudayaan Bali.
“Orang
Bali memiliki tradisi perayaan Galungan sebagai hari besar setiap 210 hari. Orang
Bali melihat perayaan Imlek memiliki kesamaan dengan perayaan Galungan sehingga
Imlek lantas disebut sebagai Galungan Cina,” kata Wiradnyana.
Baca juga: Cina pun Luruh dalam Kearifan Bali
Baca juga: Cina pun Luruh dalam Kearifan Bali
Identifikasi
budaya dengan mencoba melihat persamaan di antara dua budaya yang berbeda, kata
Wiradnyana, merupakan hal lazim dalam interaksi lintasbudaya. Melalui
identifikasi kesamaan budaya itu, terbangun sikap saling memahami dan akhirnya
saling menghormati.
“Interaksi
lintasbudaya antara Bali dan Tionghoa menjadi lebih mudah karena kedua
kebudayaan ini memang banyak memiliki kesamaan, seperti pemujaan terhadap
leluhur,” kata Wiradnyana.
Budayawan
I Wayan Geria dalam tulisannya yang berjudul “Pola Hubungan Antaretnis Bali dan
Tionghoa dalam Dinamika Kebudayaan dan Peradaban” yang dimuat dalam buku Integrasi Budaya Tionghoa ke dalam Budaya
Bali (Sebuah Bunga Rampai) menjelaskan ada lima jenis paralelisme antara
etnik Bali dan etnik Tionghoa, yakni karakter harmoni, sifat dinamik, kuatnya
sifat religius dengan sinergi pemujaan terhadap Tuhan dan roh leluhur,
tingginya etos kerja, serta tumbuhnya solidaritas sosial. Namun, antara etnik
Bali dan etnik Tionghoa juga memperlihatkan diferensiasi, yakni dari ciri
fisik, unsur bahasa, unsur organisasi, unsur agama dan kepercayaan, orientasi modernisme,
serta mentalitas. (b.)
___________________________
Teks: Sujaya
Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar