Desa
Adat Budaga dan Sidakarya sama-sama terletak di wilayah kota. Budaga di wilayah
kota Smarapura, Klungkung, sedangkan Sidakarya di wilayah kota Denpasar. Kedua
desa yang berjarak sekitar 32 km ini ternyata memiliki kesamaan tradisi, yakni
sama-sama pantang memelihara kuda. Di Sidakarya ada tambahan lagi sejumlah
hewan yang pantang dipelihara, yakni kambing, domba, monyet, babi (bangkung-kaung) serta misa atau kerbau putih.
Suasana Desa Budaga, Klungkung |
Tiada
jelas, memang, apa penyebabnya hingga muncul pantangan semacam ini. Namun,
warga Sidakarya percaya hal itu erat kaitannya dengan Pura Pagedogan di desa
itu. Pada masa kerajaan dulu, Raja Badung ketika hendak beranjangsana, sang raja
mengistirahatkan kudanya di sebuah tempat di Sidakarya saat ini. Tempat
peristirahatan kuda raja itu kemudian dijadikan pura yang diberi nama Pura
Pagedogan. Pura ini di-among Jero
Dangin, Denpasar. Lama-kelamaan tempat peristirahatan kuda sang raja itu
disakralkan warga. Seiring itu pula menguat keyakinan bahwa kuda sebagai
ancangan di pura itu sekaligus desa Sidakarya. Hal inilah yang kemudian membuat
warga Sidakarya tiada berani memelihara kuda.
Namun,
seperti termuat dalam buku Babad Sidakarya
susunan I Nyoman Kantun dan I Ketut
Yadnya disebutkan munculnya pantangan terhadap hewan-hewan piaraan itu karena
secara niskala diyakini sudah ada ancangan seperti hewan-hewan itu di desa
ini. Karenanya, warga tidak patut lagi memelihara binatang tersebut karena
merupakan unen-unen Ida Bhatara.
Konon,
bila ada warga Sidakarya yang memaksakan diri untuk memelihara hewan-hewan itu,
senantiasa menemukan kesusahan. Pernah terjadi seorang warga Sidakarya
memelihara kuda, ternyata sang kuda tidak pernah mau diam, dan berlaku aneh.
Begitu juga warga yang memelihara babi. Babi itu memang mau beranak, tetapi
secara ekonomi tidak bisa menghasilkan.
Pantangan
ini bukan saja berlaku bagi warga asli Sidakarya. Warga pendatang pun tidak
berani memelihara hewan-hewan tersebut. Pantangan ini pun disuratkan dalam
awig-awig desa adat. Pernah juga warga pendatang yang tinggal di Sidakarya
memelihata kambing. Memang, kambing-kambing itu mau beranak-pinak, tetapi tiada
sampai menghasilkan. Justru, yang terjadi, warga tersebut malah jatuh secara
ekonomi.
Pantangan
memelihara kuda di Budaga juga tidak diketahui secara pasti penyebabnya. Warga
setempat hanya mewarisi cerita turun-temurun dari pendahulunya bahwa ancangan sesuhunan Ida Batara di desa
tersebut ada yang berwujud kuda, sehingga warga tiada dibolehkan memelihara
hewan tersebut.
Konon,
apabila ada warga Budaga yang memelihara kuda di rumahnya bisa terkena bahaya.
Paling tidak, kuda yang dipelihara akan rusuh. Malah, si pemilik bisa jatuh
sakit.
Pernah
suatu kali, seperti diceritakan tokoh masyarakat Budaga, I Nengah Deresta, ada
salah seorang warga Budaga yang memelihara kuda. Si pemilik memelihara kuda
untuk digunakan menarik dokar. “Namun, kuda yang dipelihara di rumahnya itu
tidak tenang, selalu meloncat-loncat dan meringkik tiada putus. Kuda tersebut
lama-kelamaan mati,” tutur Deresta.
Setelah
kejadian itu, warga Budaga kemudian diingatkan kembali tentang tutur para tetua
desa di masa lalu mengenai pantangan memelihara kuda. Pengalaman buruk salah
seorang warga itu meyakinkan warga Budaga bahwa secara niskala mereka memang tak dibolehkan memelihara kuda.
Sulit
diterima akal sehat, memang, munculnya pantangan memelihara kuda di Desa Budaga
ini. Namun kenyataannya manakala ada warga yang memelihara kuda, kejadian buruk
memang terjadi. Ini seolah memperkuat keyakinan bahwa pantangan itu memang
dititahkan secara niskala.
Akan
tetapi, ada yang menyebut trauma atas kejadian gagalnya memelihara kuda yang
dialami warga itulah yang memunculkan keyakinan warga untuk tidak memelihara
hewan tersebut. Dari rasa trauma itulah kemudian menguat menjadi keyakinan yang
selanjutnya diwariskan secara turun-temurun. (b.)
__________________________________
Teks dan Foto: Jagadhita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar