Kebijakan Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali
mengenai hari berbusana adat dan berbahasa Bali saban hari Kamis selain imbauan
berbusana adat Bali saban hari Purnama dan Tilem, disambut positif tokoh
masyarakat Kedonganan, I Ketut Madra. Menurutnya, kebijakan ini sangat
strategis untuk memperkokoh akar kultural masyarakat Bali. Namun, Madra
mengingatkan agar Pemprov menjaga konsistensi dan keberlanjutan kebijakan ini.
“Pilihan kebijakan pemertahanan bahasa, aksara
dan sastra Bali di awal masa pemerintahan Koster-Ace tentu tepat karena bahasa
merupakan akar kultural kebudayaan Bali. Tapi, kita sering kali punya masalah
dalam hal konsistensi dan kesinambungan,” kata Ketua Pasraman Citta Dharma
Santhi Desa Adat Kedonganan ini.
Madra mengungkapkan kebijakan mengenai pemakaian
aksara Bali dalam papan nama lembaga pemerintahan sudah ditetapkan pada masa
kepemimpinan Gubernur IB Mantra. Namun, kebijakan itu tidak dilanjutkan secara
tegas oleh pemimpin selanjutnya. Berbagai pelanggaran yang terjadi cenderung
dibiarkan. Ini menyebabkan peraturan tentang pemakaian aksara Bali seperti ada
dan tiada.
Madra berharap kebijakan hari berbusana adat dan
berbahasa Bali dilandasi oleh kesadaran tentang politik kebudayaan untuk
sungguh-sungguh menguatkan basis kultural masyarakat Bali. Menurut Madra, di
tengah beragam tantangan yang dihadapi Bali, politik kebudayaan amat dibutuhkan
untuk menguatkan ketahanan budaya masyarakat Bali.
“Kita semua mengakui, anak-anak Bali sekarang
lemah dalam berbahasa Bali. Pasangan muda Bali juga tidak lagi merasa bangga
mengajari anak-anaknya berbahasa Bali. Ini butuh kebijakan strategis dan
mendasar,” kata Madra yang juga Ketua LPD Desa Adat Kedonganan.
Madra berharap kebijakan ini bakal diikuti dengan
penguatan kurikulum pembalajaran bahasa, aksara dan sastra Bali di
sekolah-sekolah. Pembelajaran bahasa Bali mesti membuat siswa senang dan bangga
berbahasa Bali.
Awig-awig
Di sisi lain, Madra juga menilai kebijakan hari berbusana
adat dan berbahasa Bali patut diperkokoh kembali melalui awig-awig di masing-masing desa pakraman. Menurut Madra, desa
pakraman juga perlu melakukan strategi pemertahanan bahasa, aksara, dan sastra
Bali, terutama kepada anak-anak di desa pakraman.
“Karena menganggap bahasa, aksara, dan sastra
Bali sudah menjadi hal yang biasa, kerap kali awig-awig mengabaikan hal
mendasar ini. Kini, perlu dipertegas dan diperkuat lagi dengan pengaturan yang
lebih jelas mengenai busana adat Bali serta bahasa, aksara dan sastra Bali di
desa pakraman,” ujar Madra.
Madra mencontohkan unit-unit usaha desa pakraman,
seperti LPD atau Bumdes, sudah selayaknya menjadi garda terdepan dalam
penggunaan identitas budaya Bali. Bahkan, kata Madra, seleksi pegawai di
unit-unit usaha LPD perlu disyaratkan kompetensi berbahasa Bali serta wawasan
mengenai adat dan budaya Bali. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar