Tak banyak
peneliti bahasa yang mau mengkaji bahasa-bahasa kuno atau klasik. I Made Madia,
dosen Linguistik di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana (Unud)
mungkin menjadi sedikit linguis yang mau meneliti bahasa-bahasa yang kerap
disebut sebagai “bahasa mati” itu. Mantan Ketua Jurusan Sastra Indonesia,
Fakultas Sastra (FS) Unud ini meneliti bahasa Melayu Klasik untuk disertasinya
di Program Studi Doktor Ilmu Linguistik, FIB Unud yag bertajuk, “Konstruksi
Verba Beruntun Bahasa Melayu Klasik: Kajian Sintaktis dan Semantis” yang dipertahankan di hadapan sidang tim penguji di Kampus Nias Sanglah, Denpasar, Jumat (26/1).
Menurut Madia,
bahasa Melayu merupakan cikal bakal bahasa Indonesia. Pemahaman terhadap salah
satu aspek bahasa Melayu pada masa lampau, khususnya Melayu Klasik, menjadi
penting untuk merancang arah pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
“Teks
berbahasa Melayu Klasik merupakan lahan kajian yang potensial, tidak hanya dari
aspek kebahasaan, tetapi juga kajian di bidang sastra, filologi, hukum,
sejarah, arkeologi, dan kajian bidang humaniora lainnya,” kata lelaki kelahiran
Denpasar, 1 Juli 1958 ini.
Menggunakan
teks Sedjarah Melayu dan Hikajat Abdullah sebagai sumber data,
Madia mengkaji aspek sintaktik dan semantik sebagai pintu pembuka memahami
struktur bahasa Melayu Klasik. Di bawah bimbingan promotor tiga guru besar
Linguistik Unud, yakni Ketut Artawa, I Wayan Pastika, dan I Ketut Darma
Laksana, Madia memusatkan perhatian pada penggunaan rangkaian verba pada
kalimat-kalimat panjang yang muncul dalam kedua teks Melayu Klasik itu.
Penggunaan kalimat panjang dalam teks Melayu Klasik itu, dipahami Madia sebagai
gambaran kerumitan gagasan yang mampu diekspresikan dalam bahasa Melayu yang
egaliter pada masa itu.
Hasil
penelitian Madia menunjukkan, rangkaian verba dalam bahasa Melayu Klasik
teridentifikasi sebagai kalimat sederhana dan kalimat kompleks. Madia menyebut
rangkaian verba itu sebagai verba beruntun. Madia mendefinisikan verba beruntun
sebagai keberadaan (minimal) dua verba dalam satu konstruksi tanpa kehadiran
konjungtor sebagai penghubung dan penanda jeda (tanda koma). Madia mencontohkan
konstruksi kalimat, “Bendahara radja tiada lagi berhenti menjebut kalimat
sjahadat”.
Madia mengakui
hasil penelitiannya bersifat amat teknis-teoretis. Akademisi yang menyelesaikan
pendidikan S2 di Program Studi Ilmu Linguistik Program Pascasarjana Universitas
Indonesia pada 1993 ini memang meyakini karya ilmiah akademik memang hanya bisa
dipahami kalangan terbatas, khususnya masyarakat akademik. Namun, Madia juga
yakin penelitiannya juga bisa dimanfaatkan secara praktis di masyarakat.
“Bagi publik,
utamanya guru bahasa Indonesia, kajian ini dapat menjadi panduan dalam hal
interpretasi makna terhadap kalimat yang bersusunan kompleks. Selain itu, hasil
penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk melatih siswa mengekspresikan
pikiran yang kompleks dengan konstruksi kalimat kompleks yang baik dan benar. Latihan
pemahaman dan pengekspresian makna/pikiran dalam struktur kompleks bermanfaat
bagi siswa sesuai dengan tingkat intelektualitasnya dalam hal pengembangan
budaya menulis,” beber jebolan Sekolah Pendidikan Guru Dwijendra Denpasar tahun
1977 ini.
Madia menjadi
doktor ke-129 di Program Studi Ilmu Linguistik, serta doktor ke-31 di Fakultas
Ilmu Budaya (FIB) Unud. Suami Ida Ayu Made Alit Tirtawati ini dinyatakan lulus
dengan predikat Sangat Memuaskan. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar