Perasaan Ni
Nyoman Gatri, seorang warga Klungkung, kini lega setelah usai menyelesaikan
rangkaian upacara mamitang dewa hyang
di Pura Dalem Puri Besakih awal pekan lalu. Dia kini berdoa, setelah utang
upacara itu selesai ditunaikan, keluarganya tak lagi ditimpa serentetan musibah
seperti beberapa bulan sebelumnya.
“Semoga
setelah ini kami dikarunia keselamatan dan tak lagi punya utang kepada
leluhur,” kata Gatri.
Rangkaian
upacara yang dilaksanakannya ini bermula dari serentetan musibah yang dialami
anggota keluarganya. Secara beruntun suami dan keponakannya mengalami
kecelakaan saat mengendarai sepeda motor. Tak hanya itu, mertuanya juga
mengidap sakit kepala akut dalam jangka waktu lama. Kejadian lainnya, rumah
anaknya di Denpasar beberapa kali dimasuki ular.
![]() |
Orang Bali menggelar upacara ngaben sebagai wujud penghormatan kepada leluhur yang berjasa di masa lalu. |
“Rezeki saya
dari berjualan ikan tak jelas. Keuntungan ada, tetapi uangnya tak terkumpul
baik seperti dulu. Ada saja kebutuhan mendadak yang menyedot keuangan,” tutur
Gatri yang sehari-hari menjadi penjual ikan segar.
Gatri pun
menuturkan rentetan musibah dan masalah yang dihadapi dengan kerabatnya. Muncul
usulan untuk menanyakan berbagai musibah dan masalah itu kepada jro dasaran untuk di-tenung.
“Kami putuskan
ngalih galang agar kami tahu apa yang
sebetulnya terjadi di dalam keluarga kami,” imbuh suami Gatri, Nyoman Dunia.
Gatri bersama
keluarganya pun berangkat mapinunasan
ke Karangasem. Jro dasaran yang
menenung membeberkan adanya masalah ketidaklengkapan prosesi upacara saat
pelaksanaan upacara ngaben dan nuntun yang digelar keluarga Gatri
setahun lalu.
“Saat upacara ngaben dan nuntun setahun lalu, kami lupa melaksanakan upacara penebusan dewa hyang di Titi Gonggang yang
terdapat di jaba tengah Pura Dalem
Puri. Ada salah satu panglingsir kami
yang masih ngayah di sana dan ingin
di-tebus agar bisa malinggih di sanggah,” beber Gatri.
Gatri lalu
mengingat-ingat perjalanan upacara ngaben dan nuntun dilaksanakan setahun lalu.
Kala itu, upacara dilaksanakan secara massal sesuai program di desanya.
Pesertanya lumayan banyak, lebih dari 100 sawa. Saking banyaknya peserta,
prosesi terkadang berjalan tidak sempurna.
“Waktu itu
kami sudah mamitang, tetapi lupa
nebusin di Titi Gonggang. Katanya harus di-tebus
dengan pis bolong 100 keteng,” imbuh Gatri.
Akhirnya,
Gatri memutuskan menunaikan upacara yang dianggap kurang itu. Dia mengajak
seluruh keluarga di rumahnya turut serta.
Gatri bukan
satu-satunya orang Bali yang melakoni hal serupa: mencari jawaban atas musibah
yang dialami dengan menanyakan kepada balian
atau jro dasaran. Jawaban yang
diberikan biasanya berupa ritual tertentu.
Sikap Gatri
mencerminkan nilai budaya yang melingkupi masyarakat Bali mengenai hubungan
antara masa lalu, masa kini, dan masa depan. Dalam kepercayaan orang Bali, masa
lalu, masa kini, dan masa depan selalu berhubungan, senantiasa memberikan
pengaruh. Apa yang terjadi di masa kini tidak lepas dari masa lalu. Wajah di
masa depan juga ditentukan oleh perjalanan di masa lalu.
Karena itu,
orang Bali tidak pernah mengabaikan masa lalu. Bahkan, mereka selalu membawa
masa lalu ke masa kini dan menjadikannya bekal untuk mengarungi masa depan.
“Orang Bali
tak hanya mencari jawaban ke masa lalu atas masalah masa kini, tetapi juga
meruwat masa kini dan masa depannya dengan masa lalu,” kata dosen Institut Hindu
Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana.
Cara berpikir
semacam ini, diakui Wiradnyana, tidak sejalan dengan cara berpikir rasional.
Dalam cara pandang rasional, masalah di masa kini harus dicarikan jawabannya di
masa kini.
Namun, menurut
Wiradnyana, mencari jawaban atas masalah masa kini dengan melihat masa lalu
sebenarnya juga biasa dilakukan oleh mereka yang memiliki cara pandang
rasional. Ini bisa dilihat dalam analisis latar belakang historis. Namun,
tradisi orang Bali sungguh unik, karena jawaban dari masa lalu biasanya dalam
bentuk ritual.
“Jawaban dari
masa lalu orang Bali selalu bernuansa religius. Karena itu, jawaban itu tampak
seperti ruwatan, penyucian, pemurnian kembali,” kata Wiradnyana.
Karena itu,
Wiradnyana berpandangan, jawaban dari masa lalu berupa ritual sejatinya sebuah
pesan agar orang Bali kembali kepada kesejatian dirinya yang berkiblat kepada
leluhur sebagai asal di kehidupan lalu dan Tuhan sebagai asal segala muasal.
“Rasionalisasinya
kemudian, ketika kita menghadapi masalah yang pelik, tak bisa dicarikan
jawabannya, jalannya hanya satu, kembali ke jati diri, kembali ke asal mula,
kembali kepada Tuhan, Sang Pencipta,” ujar Wiradnyana.
Secara praktis
pun, jawaban dari masa lalu berwujud ritual memberi ruang kepada orang Bali
untuk memperkokoh keguyuban dalam keluarga atau dalam ikatan kebersamaannya.
Ritual biasanya harus disiapkan dan dilaksanakan bersama-sama. Hubugan yang
renggang pun menyatu kembali.
Keguyuban yang
kian kokoh juga dirasakan Gatri. Mesti ritual yang harus dilaksanakan tidak
begitu besar, dia merasakan hubungan dengan keluarganya menjadi kian kuat.
Kebersamaan begitu terasa hangat.
“Tiang
bersyukur, upacara ini menambah keguyuban kami di keluarga. Jadi, ada makna
positifnya,” kata Gatri. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar