Rurung
dalam bahasa Bali memang berarti jalan. Tapi, bagi masyarakat Bali, rurung memiliki makna bukan hanya sebagai
jalan, namun lebih dari itu rurung
berperan ruang mempertemukan rasa, hati dan pikiran. Interaksi sosial terjadi
dalam suasananya yang cair dan juga nyaman untuk berbagi segala hal. Tidak
jarang ide-ide hebat tercetus dari interaksi di rurung. Rurung juga
sebagai jalan untuk membangun kerja sama dan menjembatani komunikasi dari
generasi ke generasi.
Kesadaran ini
mendorong lahirnya Festival Rurung di Desa Peliatan, Ubud, Gianyar, 22—24
Desember 2017 lalu. Ruang kreatif ini digelar dengan konsep mengedukasi dan mencintai
tradisi budaya Bali. Festival yang dikemas dengan beragam kegiatan budaya tradisional
hingga modern ini memanfaatkan lokasi jalan atau rurung sebagai media komunikasi warga di Pura Beji Belong, Desa
Pakraman Peliatan.
Yang menarik,
bila sebuah festival meninggalkan sampah, Festival Rurung justru meninggalkan
monumen berupa pahatan tebing, yaitu sebuah pahatan batu padas. Atraksi ini menjadi
daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Sejumlah seniman pahat dari Peliatan
membuat relief lewat kemahirannya memahat paras yang menempel di dinding Pura Beji.
Gambar ukiran batu padas mengambil cerita hewan-hewan serta tumbuhan.
“Biasanya
sebuah festival meninggalkan sampah, justru kita ingin melalui festival
meninggalkan monumen berupa seni pahatan,” tutur Ketua Panitia Festival Rurung,
I Wayan Sudiarsa.
Selain aksi
memahat, kegiatan lain yang berlangsung seru adalah hadirnya anak-anak yang
ikut mengisi kegiatan rare, seperti
diskusi budaya, permainan tradisi anak-anak, serta aksi panggung. “Khusus untuk
anak-anak kami libatkan dalam acara diskusi budaya menampilkan pembicara Kadek
Wahyudita dari Rumah Budaya Penggak, dan Made Taro, tokoh dongeng Bali, yang
memberikan cerita-cerita dan berbagai permainan tradisi,” jelas Sudiarsa yang
biasa dipanggil Pacet.
Pacet menyebut
pihaknya ingin keberlangsungan budaya yang sudah ada bisa tetap terjaga. “Lewat
Festival Rurung inilah kami ingin membangkitkan kejayaan Peliatan sebagai desa
yang pertama di Bali hadir ke luar negeri membawakan seni tabuh dan tarinya,”
ungkapnya.
Festival
Rurung dibagi dalam tiga hari. Tiap hari diisi kegiatan dengan tema berbeda-beda.
Hari pertama mengambil tema “Malam Tradisi”, hari kedua mengambil tema “Malam
Modern”, dan hari ketiga mengambil tema “Malam Kontemporer”.
Aneka kuliner
khas Bali juga menjadi sasaran empuk para pecinta kuliner. Di sepanjang rurung yang lebar sekitar dua meter
di pinggir sungai disajikan berbagai
aneka makanan khas Peliatan. Di antaranya makanan jaje sagon, topot, mujair
nyatnyat, nasi sela, minuman jamur, sate dan sebagainya.
“Festival
rurung ini bagus sebagai upaya membangkitkan kembali tradisi dan memberdayakan
generasi muda,“ kata Wayan Eka Budiayasa mewakili Karang Taruna Desa Peliatan.
Eka pun
menyebut, keterlibatan warga dalam Festival Rurung ditunjukkan dengan
menghadirkan para pedagang makanan tradisional khas Peliatan. Selain itu,
antusiasme warga terlihat dari penuh sesaknya ajang kreatif itu selama festival
berlangsung.
Sebagai pementasan pamungkas, Sabtu (24/12)
malam ditampilkan atraksi budaya modern berupa kolaborasi seniman lintas
generasi, berupa garapan musik yang didandani Penggak Men Mersi dengan menampilkan
Gung Bona Alit, Ketut Lanus (Cahya Art),
I Wayan Ary Wijaya (Parawara) dan I Wayan Sudiarsa (GSGS). (b.)
Teks: Radea & Jagadhita
Foto: Courtesy Penggak Men Mersi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar