Tradisi Bali menempatkan Ibu
begitu mulia. Dalam teks-teks tradisional Bali, Ibu disebut sebagai penjaga kehidupan yang lebih
mulia dari bumi ini. Ibu adalah penjaga nafas kehidupan. Karena itu, memuliakan
ibu, sama artinya dengan memuliakan kehidupan.
Tradisi Bali menyebut bumi ini
sebagai Ibu Perthii, sebuah cermin pemuliaan Ibu. Manusia Bali sudah sejak lama
diingatkan tentang betapa besarnya cinta, kasih dan sayang Ibu Bumi. Karenanya,
manusia Bali senantiasa pula diingatkan untuk
menjaga dan merawat Ibu Bumi dengan penuh ketulusan dan kejujuran.
Dalam tradisi Bali ,
jasa Ibu Bumi sangatlah besar, setara dengan jasa sang Ibu biologis. Ibu
Bumilah yang menopang hidup dan kehidupan ini. Ibu Bumi juga begitu sabar melayani
segala keinginan-keinginan manusia.
Karena itulah, manusia Bali
diajarkan untuk berterima kasih secara tulus kepada Ibu Bumi. Hari suci Tumpek
Pengatag dan Tumpek Kandang merupakan ungkapan rasa terima kasih
manusia Bali kepada Ibu Bumi. Sungguh manusia
tidak bisa hidup tanpa ditopang oleh tetumbuhan dan hewan. Dengan adanya
tumbuh-tumbuhan dan binatanglah, manusia bisa memenuhi kebutuhan hidupnya baik
sandang, papan maupun pangan.
Dalam Mahabharata terdapat episode Yudistira meratapi jazad saudara-saudaranya:
Bima, Arjuna, Nakula dan Sahadewa yang meninggal setelah meminum air telaga.
Yudistira memohon agar saudara-saudaranya bisa dihidupkan kembali lalu Yaksa
mensyaratkan Yudistira mesti bisa menjawab pertanyaan-pertanyaannya.
Sebuah pertanyaan diajukan Yaksa:
Apakah yang mampu menghidupi dan membesarkan lebih mulia daripada bumi ini?”
Begitu selarik tanya dari Yaksa yang gaib kepada Yudistira tatkala berada di
tepian sebuah telaga.
“Ibu. Beliaulah yang melahirkan
dan membesarkan anak-anaknya lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi
ini.” Begitu jawaban Yudistira yang ternyata dibenarkan Yaksa.
Percakapan antara Yudistira dan
Yaksa ini kerap kali disodorkan ketika membincang kemuliaan Ibu. Bahwa kemulian
seorang Ibu tiada bandingannya. Bahkan jika orang menyebut teramat mulianya
bumi ini untuk merawat kehidupan, kemuliaan seorang Ibu melampaui hal itu.
Seorang Ibu memang sangat dekat
dengan sifat tulus memelihara, ikhlas merawat, tegar menjaga serta tanpa pamrih
melindungi. Seorang Ibu akan merasa berdosa kepada anaknya jika tak mampu
melaksanakan kewajiban mulianya itu.
Karena itu, bisa dipahami
kemudian mengapa seorang Kunti dikejar-kejar perasaan berdosa sepanjang
hidupnya karena telah membuang putra pertamanya, Karna. Kunti pun akhirnya
menjalani “hukumannya” sepanjang hayat. Batinnya tersiksa, hatinya
teriris-iris. Puncaknya, dia akhirnya harus kehilangan putra yang sejak lama
dirindukannya itu. Tragisnya, Karna meninggal oleh anak panah adiknya sendiri,
Arjuna. Mereka lahir dari rahim yang sama, rahim Kunti.
Bagi seorang anak, memiliki Ibu
adalah sebuah karunia sejati dalam hidup. Ibulah yang menjadikannya ada. Ibulah
yang kemudian merawatnya dengan tulus hingga bisa menatap matahari dengan wajah
tegak.
Maka, sepanjang hidupnya, seorang
Karna yang agung senantiasa diusik kerinduan untuk bertemu Ibu kandungnya.
Kerinduan yang mewujud dalam mimpi-mimpi yang panjang. Perasaannya belum tenang
jika belum mengetahui siapa Ibu kandungnya.
Ada rasa dendam, memang, pada
sang Ibu yang telah menyia-nyiakannya ketika lahir. Namun, ketika mengetahui
dan bertemu dengan Kunti, sang Ibu kandung, toh akhirnya Karna tak bisa marah.
Wajah Ibu teramat menyejukkan, terlampau teduh. Betapa pun hati panas membara,
di depan Ibu, semuanya menjadi luluh.
Karenanya, berbahagialah mereka
yang telah menjadi Ibu. Seorang Ibu tidak saja melahirkan anak-anak dari
suaminya, tetapi lebih dari itu, seorang Ibu telah menjadi sosok yang merawat
dan menjaga kehidupan. Seorang Ibu telah memaknai secara nyata bagaimana
semestinya mencintai kehidupan ini dengan tulus dan bagaimana berkorban tanpa
pamrih bagi kehidupan.
Sampai di sini bisa dipahami
mengapa kemudian seorang perempuan lebih dihargai ketika melakoni tugas mulia
sebagai seorang Ibu. Karena, menjadi Ibu adalah puncak pencapaian dari
perjalanan panjang seorang perempuan. Seperti halnya puncak pencapaian seorang
laki-laki saat menjadi ayah. Lantaran, pada titik itulah kontribusi nyata bagi
kehidupan. Ibu adalah penjaga kehidupan yang lebih mulia dari bumi. Selamat
Hari Ibu! (b.)
Teks: Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar