Gunung Agung sebagai hulu dan pusat orientasi
spiritual orang Bali banyak dituangkan dalam teks-teks tradisional. Kisah
keutamaan Gunung Agung ditemukan dalam
berbagai lontar di Bali. Dosen Sastra Bali, Unud, IB Rai Putra dalam
artikelnya, “Catatan dari Raja Purana Besakih” (1993) menyebut salah satu
sumber teks tradisional penting tentang kemuliaan Gunung Agung dan Pura
Besakih, yakni Raja Purana Pangandika Ring
Gunung Agung atau sering juga disebut Raja
Purana Pura Besakih. Dalam sastra geguritan
juga pernah ditulis Geguritan Gunung
Agung Meletus.
Namun, Gunung
Agung ternyata belum banyak dieksplorasi para pengarang sastra Indonesia
modern. Sejauh ini, baru ditemukan beberapa puisi tentang Gunung Agung serta
sebuah novel karya Djelantik Santha berjudul, Di Bawah Letusan Gunung Agung. Novel yang terbit tahun 2015 ini boleh jadi satu-satunya
novel yang mengangkat tema musibah letusan Gunung Agung tahun 1963.
Di Bawah Letusan Gunung Agung tampaknya
menjadi novel terakhir dalam bahasa Indonesia karya Djelantik Santha. Selain Di Bawah Letusan Gunung Agung, Djelantik
Santha menulis novel Vonis Belahan Jiwa.
Selebihnya, karya-karya Djelantik Santha dalam bahasa Bali, dan yang paling
dikenang pembaca sastra Bali modern, Tresnane
Lebur Ajur Satonden Kembang.
Novel Di Bawah Letusan Agung sejatinya tentang
kisah cinta anak muda Bali di tengah ketegangan dan kecemasan orang Bali
menghadapi musibah letusan Gunung Agung pada tahun 1963. Tokoh utama cerita,
Sardula menjalin hubungan perempuan yang masih berhubungan kerabat: Gayatri,
Ginanti, dan Yogantari. Namun, sikap kedua orang tua menyebabkan kisah cinta
kedua Sardula dan Gayatri kandas di tengah jalan. Di tengah-tengah masa pengungsian,
Gayatri atas dorongan ayahnya, memilih menghindari Sardula dan menikah dengan
Gede Sembada. Hubungan cinta Sardula dan Ginanti juga kandas karena Ginanti
dijemput maut. Di akhir cerita, Sardula dikisahkan menikah dengan Yogantari,
sepupunya di Lombok. Perkawinan ini disebut sebagai pengorbanan untuk penyatuan
kedua keluarga yang sempat terputus. Yang menarik, Sardula dan Yogantari
mengadopsi anak Gayatri yang sebelunya dirawat Yogantari selama di Lombok.
Kisah cinta
Sardula tampaknya memang hanya menjadi dramatisasi dari fakta musibah letusan
Gunung Agung tahun 1963. Pengarang sepertinya berniat memotret ketegangan dan
kecemasan orang Bali di tengah musibah letusan Gunung Agung tahun 1963. Dugaan
ini tak hanya diperkuat oleh judul novel yang mengedepankan sisi faktual
peristiwa, sepanjang cerita juga bertaburan dengan informasi detil hari demi
hari selama masa letusan Gunung Agung. Karena itu, novel ini layak dijadikan
salah satu sumber untuk memahami sejarah letusan Gunung Agung tahun 1963. Novel
setebal 208 halaman ini kaya dengan data-data historis yang menunjukkan
ketekunan pengarangnya melakukan riset atas peristiwa letusan Gunung Agung
1963. Walaupun, dalam kata pengantar, pengarang menyatakan kisah dalam novelnya
ini adalah fiksi. Apabila ada kesamaan nama pelaku, tempat, itu karena
kebetulan belaka.
Sayangnya,
novel ini tampaknya tak banyak dikenal para penikmat sastra Indonesia modern.
Balai Bahasa Provinsi Bali yang menerbitkan novel ini hanya mencetak secara
terbatas.
Tatkala kini
perhatian orang tertuju ke Gunung Agung, novel ini menjadi bacaan yang
kontekstual. Kecemasan yang kini dirasakan orang Bali menghadapi kemungkinan
Gunung Agung meletus juga terasa dalam novel ini. Orang tak hanya mendapatkan
deskripsi detil peristiwa saat gunung tertinggi di pulau mungil ini meletus,
tetapi juga merasakan suasana mencekam, penuh ketidakpastian, getir dan
kepedihan menghadapi bencana alam dahsyat itu. (b.)
Teks: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar