Jika ditanya,
apakah pengarsipan budaya Bali itu penting, pasti semua orang mengatakan
penting. Pengarsipan budaya Bali tidak hanya penting bagi para akademisi atau
peneliti kebudayaan Bali, namun pengarsipan budaya Bali memiliki arti penting juga
bagi masyarakat Bali. Di tengah kuatnya kesadaran sejarah di kalangan orang
Bali, keberadaan arsip tentang Bali di masa lalu memiliki makna tersendiri.
Karena itu,
langkah Marlowe Bandem, dkk., yang menginisiatifi program repatriasi terhadap
arsip-arsip kebudayaan Bali yang tersimpan di luar negeri melalui organisasi
Bali1928 patut diapresiasi dan didukung. Repatriasi merupakan upaya pemugaran,
penyebaran dan pemulangan kembali warisan pusaka seni dan budaya Bali berupa
arsip Bali 1928 dari berbagai pusat arsip dunia. Program ini, menurut Marlowe,
berangkat dari upaya Edward Herbst yang dengan tekun selama bertahun-tahun
mengumpulkan aneka piringan hitam pada masa Bali sekitar tahun 1928—1929 dari
berbagai sumber. Kekayaan koleksi audio itu dipugar kembali kualitasnya oleh
Allan Evans dari Arbiter of Cultural Traditions di New York. Selanjutnya,
cuplikan-cuplikan film disunting oleh Tim STIMIK-STIKOM Bali lalu dihadirkan
kembali dalam limavolume CD dan DVD, juga disertai naskah-naskah penelitian
oleh Edward Herbst.
![]() |
Diskusi "MasaDepan Pengarsipan Budaya Bali, Pentingkah?" di Harian Kompas Perwakilan Bali, 30 Mei 2017. (balisaja.com/jagadhita) |
“Ada 2164
arsip mengenai budaya Bali yang tersimpan di luar negeri. Kami baru bisa
merepatriasi 111 piringan hitam yang berisi gamelan dan kidung Bali,” kata
Marlowe saat diskusi di Renon baru-baru ini.
Marlowe lantas
mencontohkan piringan hitam asli 78 rpm, rekaman bersejarah 1928-1928 berisikan
Pupuh Adri. Piringan ini adalah satu-satunya cakram yang masih tersisa di
dunia. Piringan ini ditemukan di Universitas Amsterdam. Kehadiran benda fisik
seperti ini penting sekali di masa mendatang.
Sebagai bagian
dari upaya penyebaran, pihaknya juga melakukan pemutaran film ke banjar-banjar
untuk mengenalkan arsip-arsip itu kepada masyarakat. Kegiatan ini ternyata
bermanfaat besar. Masyarakat yang menyaksikan film-film itu langsung bisa
memberikan respons untuk memperjelas keberadaan arsip yang diputar itu.
“Kami sempat
memutar arsip film Ida Pedanda Made Sidemen saat masih berusia muda. Ternyata
masyarakat yang menonton bisa langsung mengetahui lokasi dalam film dan ritual
apa yang sedang di-puput oleh Ida Pedanda,” kata Marlowe.
Selain film,
Bali1928 juga mengumpulkan foto-foto tentang kebudayaan Bali. Ada beberapa foto
kegiatan adat di Bali yang belum pernah dirilis dalam bentuk apa pun di buku. Bahkan,
pihaknya menemukan foto mengenai festival layang-layang pada Juli 1918.
“Saat itu, layangan
janggan belum menggunakan tapel,”
kata Marlowe.
Ada juga foto
maestro tari Legong Kraton dari Kuta, Wayan Lotring saat masih berusia muda.
Bahkan, saat foto itu ditunjukkan di hadapan masyarakat Kuta, muncul keinginan
masyarakat Kuta mereparasi balai banjarnya seperti tahun 1930 dengan
menggunakan foto Wayan Lotring sebagai rujukan.
Guru Besar
Fakultas Ilmu Budaya Unud, I Nyoman Darma Putra menegaskan keberadaan arsip
budaya Bali sangat penting, apalagi untuk kepentingan riset. Menurutnya, riset
tanpa arsip lumpuh, sebaliknya arsip tanpa riset sia-sia.
Budayawan
Bali, Made Bandem juga merasakan pentingnya arsip budaya Bali. Menurutnya, dari
arsip budaya Bali itu bisa dibuat pemetaan seni dan budaya Bali.
“Dari arsip
kita bisa membuat katalog kesenian Bali. Contohnya, pada tahun 1992, kami
menemukan 6.512 sekaa. Itu menjadi modal utama Pemprov Bali melaksanakan PKB. Sekembalinya
saya dari AS tahun 2015, bersama temen-teman di Listibya Bali, kami menemukan
10.019 sekaa. Kaya sekali kita. Inilah fungsi utama arsip,” ujarnya. (b.)
Teks dan Foto: Jagadhita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar