Bali sejatinya kaya dengan tinggalan
arkeologi maritim. Namun, pelestarian berbagai situs bersejarah itu belum
sesuai harapan. Salah satu situs penting yang memiliki nilai arkeologis di
Bali, yakni Situs Tejakula di pesisir pantai utara Bali. Pesisir pantai utara
Bali dulu merupakan jalur pelayaran bagi kapal-kapal dari berbagai wilayah lain
di Nusantara bahkan dari luar negeri.
Keberadaan Situs Tejakula sebagai sumber
arkeologi maritim diungkap tiga peneliti dari Balai Arkeologi Bali, Gendro
Keling, Wayan Sumerata dan Ati Rati Hidayah saat berbicara dalam Diskusi Ilmiah
Arkeologi di Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB), Pejeng, Gianyar Bali, Rabu
(14/6).
![]() |
Para pembicara seminar berpose bersama Kadis Kebudayaan Bali, Dewa Beratha. (balisaja.com/suwita utami) |
“Situs Tejakula memiliki potensi
sumberdaya arkeologi, khususnya bidang maritim yang sangat menarik. Terutama
temuan gerabah masa prasejarah yang kondisi saat ini terendam di bawah
permukaan air karena abrasi pantai yang parah,” kata Gendro Keling.
Gendro menyebut beberapa titik lokasi
penelitian antara lain adalah Situs Pantai Bangsal di Dusun Geretek, dan
Sepanjang Pantai Bondalem. Di lokasi ini ditemukan indikasi sebagai dermaga
bagi kapal yang ingin bersandar.
Selain Situs Tejakula, potensi
sumberdaya arkeologi kemaritiman yang menarik juga ada di Desa Tulamben, Karangasem.
Gde Yadnya Tenaya, dari BPCB Bali menyampaikan tentang Pengelolaan Situs Kapal USAT
Liberty sebagai objek wisata berbasis kearifan lokal di Desa Tulamben. Menurutnya
kapal USAT Liberty yang karam tak hanya menjadi peninggalan arkeologi, kini menjadi
salah satu objek Pariwisata Primadona di Karangasem.
Menurut Yadnya Tenaya, ruang kawasan
situs Kapal USAT Liberty berkarakteristik
wilayahpantai terdiri dari elemen daratan dan perairan. Situs Kapal USAT
Liberty juga termasuk ruang dengan keluasan yang sangat memadai untuk
dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata. Dalam konteks kepariwisataan, daratan
dimanfaatkan sebagai ruang fasilitas dan akomodasi antara lain hotel, villa,
dan restoran, parkir, operasional diving,
pengelolaan kepariwisataan, dan tentunya sebagai ruang pemukiman masyarakat
lokal. Ruang perairan dimanfaatkan sebagai ruang atraksi dan transportasi
kepariwisataan. Atraksi utama berlokasi pada titik bangkai kapal USAT Liberty,
sedangan atraksi alternatif antara lain Coral Garden, The River, Drop Off, dan Emerald.
“Indonesia kaya
dengan tinggalan arkeologi maritim tetapi upaya pelestariannya belum memenuhi
cita-cita dan harapan,” kata Yadnya
Tenaya.
Tinggalan arkeologi maritim, diibaratkan
Yadnya Tenaya sebagai mutiara terpendam yang sesungguhnya berpotensi besar dilestarikan
dan dimanfaatkan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat.
Realitas yang tengah terjadi dewasa ini, maraknya vandalisme demi keuntungan
pribadi.
Dosen Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya
Unud, Rochtri A. Bawono mengungkapkan bentangan
Bali Selatan merupakan lahan bentukan asal (geomorfologi) karst yang terbentuk
atas sedimen karang dan proses pengangkatan. Lokasi ini merupakan habitat
beraneka ragam terumbu sejak terbentuknya wilayah berjuta tahun lalu. Sejak
dulu, terumbu karang merupakan sumberdaya yang sudah dimanfaatkan oleh
masyarakat pesisir.
Untuk
studi kasus, di wilayah Pesisir Sanur dan Pulau Serangan, menurut Rochtri, pengambilan
terumbu karang telah dilakukan awal sejarah (protohistoris). Hal ini dikuktikan
dengan adanya bangunan beberapa pura, seperti Pura Segara Sanur, Situs
Blanjong, Pura Sakenan, Pura Susunan Wadon yang memanfaatkan karang sebagai
material struktur.
“Eksploitasi
terumbu karang di Pesisir Bali Selatan sudah terjadi sejak awal Masehi dan berlangsung
hingga tahun 1990-an. Tingkat eksploitasi terbesar terjadi pada abad ke-16
hingga 17 Masehi. Terumbu karang dimanfaatkan untuk material bangunan baik
sakral maupun profan,” jelasnya. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar