Tari Kebyar Duduk tak hanya melambungkan nama I Mario, sang penciptanya. Namun, tari dengan gerak amat dinamis ini juga membuat para pecinta tari Bali tak melupakan sosok IB Oka Wirjana. Penari kelahiran tahun 1929 ini dikenal sebagai salah satu penari Kebyar Duduk terbaik yang dimiliki Bali. 3 Februari 2017 lalu, lelaki yang biasa dipanggil IB Blangsinga ini berpulang. Sabtu (29/4), Bentara Budaya Bali menggelar acara obituari untuk sang maestro.
Tahun 2004 lalu, saya pernah bertemu dan mewawancarai IB Blangsinga di Ubud. Kala itu, dia sedang berbunga-bunga menyiapkan diri untuk pentas para penari tua yang difasilitasi Sanggar Tari dan Tabuh Semara Ratih di jaba Pura Dalem Desa Adat Ubud, Desember 2004. Meski saat itu usianya sudah 75 tahun, semangatnya menari masih menyala-nyala.
Bagi IB Oka Wirjana, menari sebagai nafasnya sehari-hari. Dia mengaku malah sakit jika tidak menari sehari saja. Dia menuturkan, sebelum terjadi ledakan bom di Kuta, 12 Oktober 2002 lalu, dirinya memiliki banyak murid asing yang belajar menari, sehingga praktis kesibukannya mengajar cukup tinggi. Namun, dia justru merasa senang dan tampak jarang sakit. Pascabom, murid-muridnya berkurang, aktivitasnya mengajar tari pun menurun dan dia menjadi lebih sering sakit.
“Kalau sudah menari, keringat saya keluar. Jadi, menari bagi saya seperti berolah raga, saya jadi sehat,” tuturnya sembari tersenyum.
Semangatnya lebih meletup-letup lagi saat diajak berbincang tentang tari Bali. “Tari-tari sekarang kebanyakan tak ada taksu (spirit keindahan)-nya,” kata penari yang mengaku pernah belajar menari Kebyar Duduk langsung dari penciptanya, I Mario ini.
Menurut Oka Wirjana, tradisi Bali mengajarkan setiap pekerjaan atau aktivitas yang dijalani mesti mengupayakan hadirnya taksu, terlebih lagi menari. Karenanya, setiap sebelum memulai pentas kerap dihaturkan sesajen khusus berupa banten peras santun sebagai tanda pemberitahuan sekaligus mohon izin kepada Tuhan khususnya dalam manisfestasi sebagai penguasa di dunia kesenian.
“Anak-anak sekarang kalau menari, begitu datang ke hotel langsung memakai make up lalu menari. Tak ada bakar-bakaran asap,” tuturnya.
Oka Wirjana menengarai hal ini sebagai imbas dari budaya materialistis yang kian kuat mencengkeram masyarakat Bali. Para penari kini ingin cepat mendapat dolar. Padahal, dolar yang diperoleh pun tidaklah begitu besar, masih jauh memprihatinkan.
“Kalau saya menari atau mengajar tamu menari, bukan semata-mata karena ingin mendapatkan duit. Namun, semata-mata karena memang saya sudah cinta total dengan dunia seni. Saya hanya ingin mencari teman yang banyak,” katanya.
IB Oka Blangsinga sejak belia belajar menari Baris dengan bimbingan pamannya sendiri, Ida Bagus Kompiang. Talenta menari yang kuat membuatnya menjadi salah seorang penari di di Istana Kepresidenan semasa Soekarno. Dia juga menjadi duta negara dalam kunjungan di Eropa, Asia, Amerika, dan Jepang.
Pada 1954, bersama Made Darmi Rupawati, Gadung Arwati dan Gusti Ayu Manjawati, Oka Blangsinga mewakili Indonesia dalam sebuah Festival Tari di Pakistan. Ia juga pernah tampil di Hawai, Tokyo, Hongkong, Singapura bersama Sekaa Gong Sanur (1962), juga ke Swedia (Stockholm) pada tahun 1991.
Perjalanannya sebagai penari juga tak lepas dari kisah heroik. Dalam sebuah wawancara, Oka Blangsinga mengaku pernah menjadi penari Angkatan Perang di tahun 50-an. Kala itu ia sempat mengalami situasi terjebak selama 4 jam dalam suasana perang di mana peluru bersliweran di atas kepala.
Atas dedikasinya berkesenian, Ida Bagus Oka Wirjana memperoleh sejumlah penghargaan, antara lain dari Panglima Daerah Angkatan Kepolisian XVI Nusa Tenggara Barat (1969), sekolah-sekolah di Kota Nara Jepang (1981), Wija-Kesuma dari Bupati Gianyar (1985), Dharma Kusuma Media dari Gubernur Bali (1987), Penghargaan dari Gubernur Sapporo Jepang (1988), Penghargaan dari Dewan Kesenian Pusat Jakarta (1999), Siwa Nataraja dari Institut Seni Indonesia Denpasar (2008). (b.)
- Penulis: I Made Sujaya
- Foto: I Made Sujaya
- Penyunting: I Ketut Jagra