Mulai pekan ini, orang Bali mulai disibukkan dengan persiapan
menyongsong hari raya Galungan. Kalender Bali menandai pekan ini sebagai wuku Sungsang. Wuku Sungsang ini ditandai dengan perayaan khas: Sugihan
Tenten, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali.
Entah kenapa, pekan sebelum Galungan diberi nama Sungsang. Dalam
terminologi Bali, sungsang bermakna terbalik. Secara spiritual, pada wuku
Sungsang inilah dirayakan hari Sugihan yang dimaknai sebagai penyucian
mikrokosmos (Sugihan Bali) dan makrokosmos (Sugihan Jawa). Ketiga hari
Sugihan itu tampaknya media pembelajaran
bagi manusia Bali untuk selalu menapaki jalan penyucian dalam menggapai
tujuan, termasuk mencapai kemenangan.
Kita tengok saja makna kata sugihan yang
terkadang juga disebut sugian. IB
Putra Sudarsana dalam buku Ajaran Agama
Hindu (Acara Agama) lebih memilih kata sugian,
bukan sugihan. Dia menguraikan kata sugian berasal dari kata sugi dan ya. Kata sugi
diartikannya sebagai ‘gelang, bersih, suci’. Sementara kata ya diartikan ‘ada, diadakan’. Karenanya,
Sudarsana mengartikan Sugian sebagai ‘dibuat supaya suci atau disucikan’.
Sugian Tenten yang jatuh pada
Buda Pon Wuku Sungsang, Rabu (29/3) merupakan sugihan pertama. Kata tenten,
diidentikkan dengan kata enten yang
artinya ‘ingat’. Sugian Tenten semacam momentum mengingatkan umat Hindu
bahwa hari raya Galungan akan segera tiba, segala kewajiban mesti segera
dipersiapkan.
Sementara Sugian Jawa, Kamis
(30/3) dimaknai Sudarsana sebagai pembersihan atau penyucian alam semesta. Di
kalangan masyarakat Bali , pembersihan alam
semesta itu disimbolkan dengan menggelar upacara mererebu di pemerajan
sesuai dengan isi lontar Sundarigama.
Mererebu bermakna sejajar dengan
pembersihan atau penyucian.
Sementara Dra. Ni Made Sri Arwati
dalam buku Upacara Upakara Agama Hindu
Berdasarkan Pawukon menjelaskan Sugihan Jawa, merupakan hari pesucian pada
dewa dan batara yang berstana di sanggah,
pemerajan dan tempat-tempat suci
lainnya.
Sugian Bali, Jumat (31/3)
dimaknai Sudarsana sebagai pembersihan diri sebagai miniatur dari alam semesta.
Pada saat ini, umat Hindu diharapkan melaksanakan upaya untuk mengendalikan
indria (nafsu atau keinginan-keinginannya).
I Gusti Ketut Widana memilih
memakai kata Sugihan. Dalam bukunya berjudul Menjawab Pertanyaan Umat, Widana menyatakan secara filosofis
Sugihan Jawa maupun Sugihan Bali memiliki makna yang sama yaitu rerahinan dengan tujuan
membersih-sucikan bhuwana, dunia
beserta isinya. Hanya saja, menurutnya,
secara ritual, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali berbeda sasaran.
Sugihan Jawa bertujuan
membersih-sucikan bhuwana agung
(makrokosmos). Sementara Sugihan Bali bertujuan membersih-sucikan bhuwana alit (mikrokosmos). Kedua hari
raya ini, kata dia, mesti dirayakan, bukan salah satunya.
Memang, hingga kini masih ada
pemahaman dari umat Hindu di Bali untuk hanya merayakan salah satu dari kedua
hari raya Sugihan itu. Sugihan Jawa akan dirayakan oleh umat Hindu Bali yang
nenek moyangnya berasal dari Majapahit (Jawa). Sementara Sugihan Bali akan
dirayakan oleh mereka yang nenek moyangnya berasal dari Bali Aga (Bali Mula).
Menurut Widana, pendapat lama itu
didasarkan pada bunyi lontar Purana Bali
Dwipa. Padahal, kata Widana, dalam lontar itu hanya disebutkan perihal
acara penerimaan pajak dari luar Bali pada
Sugihan Jawa dan dari orang-orang Bali Aga pada Sugihan Bali.
Itu sebabnya, menurut Widana, sepatutnya tidak ada keraguan lagi
untuk melaksanakan kedua hari raya Sugihan secara berurutan dalam upaya
membersihkan bhuwana agung dan bhuwana alit.
Terlepas dari semua itu, hari
raya Sugihan bisa dipahami sebagai upaya mendidik manusia Bali untuk menapaki
jalan kesucian saat melaksanakan suatu kegiatan atau upacara sehingga bisa
mencapai kejayaan, kemenangan, kesuksesan. Jalan penyucian, baik diri sendiri
maupun alam semesta, menjadi bekal utama sehingga bisa menghadapi musuh-musuh
di dalam diri dan di luar diri mencapai kejayaan di hari kemenangan, hari
Galungan. Itu sebabnya, dalam
tradisi Bali dikenal tiga unsur yang mesti melandasi setiap aktivitas kehidupan: satyam (kebenaran), siwam
(kesucian), dan sundaram (keindahan).
Ilmuwan modern mengadopsinya ke dalam tiga kerangka, yaitu logika, etika, dan
estetika. (b.)
Teks: Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar