Bencana alam senantiasa menjadi peringatan betapa manusia
sudah melupakan kearifan bersahabat dengan alam. Itu pula yang mengemuka
manakala terjadi bencana tanah longsor di sejumlah desa di Kintamani beberapa
waktu lalu. Orang Bali kembali disadarkan betapa eksploitasi alam di hulu telah
menyebabkan labilnya kondisi tanah hingga begitu mudah tergerus saat hujan
lebat terjadi.
Tanah longsor, banjir dan kekeringan, menurut para ahli
lingkungan, sejatinya pertanda rusaknya hutan di hulu. Banyak pohon-pohon besar
yang berfungsi menyerap air dan memperkuat stabilitas tanah dipangkas atau
digantikan dengan tanaman lain. Tatkala hujan lebat tiba, taka da pohon yang
mengikat air, taka da pula yang menjaga kestabilan tanah.
Para tetua Bali sejak lama mengingatkan perihal pentingnya
merawat pohon ini. Peringatan itu diwujudkan melalui tradisi mengupacarai
segala yang tumbuh (sarwa tumuwuh).
Perempuan Bali mabanten di pohon. (Foto: sujaya) |
Memang tidak mudah memahami laku beragama dan laku budaya
orang Bali. Tak hanya rumit dan kaya simbol, beragam ritual orang Bali berakar
pada teks yang kompleks. Tak hanya teks keagamaan, tapi justru yang jauh lebih
kuat adalah teks-teks tradisi yang sudah berusia tua. Teks-teks tradisi itu pun
tak semata yang tersurat, tetapi yang jauh lebih mengakar adalah teks-teks
lisan.
Untuk
memahami tradisi mengupacarai pohon dalam kebudayaan orang Bali, seperti saat
perayaan hari Tumpek Wariga, Sabtu (11/2), mungkin bisa dilacak dari teks lisan
yang menyertai tradisi itu. Manakala mempersembahkan sesaji hari Tumpek Wariga,
sembari memukul-mukul ringan batang pohon, orang Bali masaa (mengucapkan doa pujaan
dalam bahasa Bali): Kaki Bentuyung/ titiang mapangarah/ buin selae dina
Galungan/ mabuah nyen apang nged/nged, ngeeeed// (Kaki Bentuyung/ saya memberitahukan/ Galungan
tinggal 25 hari lagi/ berbuahlah dengan lebat/ lebat, lebat//.
Orang Bali memanggil pohon dengan sebutan Kaki. Kaki tiada lain panggilan untuk kakek atau orang yang sudah tua. Hal
ini menggambarkan bagaimana cara pandang manusia Bali terhadap pohon yang jauh
lebih tua. Orang Bali meyakini, tumbuh-tumbuhan lebih dulu lahir tinimbang
manusia. Seperti halnya orang tua, tumbuh-tumbuhanlah yang melindungi dan
merawat manusia.
Pemahaman tradisional yang bersumber pada tradisi lisan
manusia Bali itu bertemali erat dengan pandangan yang tersurat dalam tradisi
tulis. Dalam Niti Sastra disebutkan tri ratna permata, tiga hal yang
menyebabkan kemuliaan hidup yakni tumbuh-tumbuhan, air dan kata-kata bijak. Selain
itu, dikenal pula konsep tri chanda
yakni tiga unsur yang menjadi penyebab hidup dan kehidupan. Ketiga unsur itu
yakni vata (udara), apah (air) serta ausada (tumbuh-tumbuhan). Tanpa ketiga unsur itu, kehidupan tidak
bisa berlangsung.
Hal ini dipertegas lagi dalam Atharva Veda VIII.7.4. yang berbunyi Virudho Vaisvadevir/ Ugrah purusajiwanih. Artinya, “tanaman
memiliki sifat para dewa/ mereka adalah para juru selamat kemanusiaan”.
Ungkapan tanaman sebagai sang juru selamat manusia bukanlah
pernyataan retorik atau sloganistis semata. Senyatanya, tumbuh-tumbuhan memang
menjadi “juru selamat” umat manusia. Tumbuh-tumbuhanlah penghasil oksigen yang
dihirup manusia. Tumbuh-tumbuhan pula yang menyediakan makanan bagi manusia.
Tanpa tumbuh-tumbuhan, manusia tidak saja kehilangan sumber makanan, tetapi
juga kehilangan sumber kehidupan utamanya: oksigen.
Masyarakat modern menyebut hutan dengan tumbuh-tumbuhan yang
terjaga keasriannya sebagai paru-paru dunia. Ketika bahaya akibat pemanasan
global semakin nyata, masyarakat dunia menumpukan harapannya kepada
negara-negara yang masih memiliki hutan luas, termasuk Indonesia. Kelestarian
hutan-hutan itu menjadi kunci keberlangsungan hidup umat manusia di masa depan.
Para tetua Bali sudah sejak lampau menyadari betapa manusia
amat berutang kepada tumbuh-tumbuhan. Manusia Bali tidak saja memandang
tumbuh-tumbuhan sebagai layaknya orang tua sendiri yang menjaga dan merawat
hidup manusia, tetapi perwujudan Tuhan sendiri. Tradisi Bali menyebutnya
sebagai Sanghyang Tumuwuh dengan tempat pemujaan terbesarnya di Pura Luhur
Batukaru, Tabanan. Belakangan, manakala tradisi keagamaan berbasis teks makin
mengakar, orang-orang menyebutnya sebagai Hyang Sangkara, Tuhan dalam
manifestasinya sebagai penganugerah dan pelindung tumbuh-tumbuhan. Justru,
orang Bali disarankan menggunakan hari Tumpek Wariga sebagai momentum menanam
bibit baru.
Karena itu, orang Bali patut berbangga karena mewarisi
tradisi berkesadaran lingkungan yang amat kontekstual dengan perkembangan
zaman. Bila pun orang luar menyebut sebagai penyembah pohon, semestinya orang
Bali tak perlu risau apalagi marah. Yang mesti dirisaukan, manakala tradisi
luhur itu hanya berhenti sebatas ritual karena perilaku nyata orang Bali tak
memperlihatkan rasa syukur dan terima kasih atas anugerah melimpah
tumbuh-tumbuhan. Di satu sisi orang Bali begitu bersemangat menggelar ritual
memuliakan pohon, tetapi di sisi lain kerusakan hutan di Bali kian menjadi.
Justru, inilah tantangan nyata orang Bali, kini: mereaktualisasi tradisinya ke
dalam laku nyata sehari-hari. Tunjukkan laku nyata mengasihi pohon sebagai
cerminan mencintai kehidupan. Lantaran, pohon-pohon itulah sang juru selamat
kehidupan, senyatanya. (b.)
Teks: I Ketut Jagra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar