Istilah nyama braya begitu populer di kalangan
masyarakat Bali dalam dua dasa warsa terakhir. Popularitas istilah nyama braya tidak saja dalam ranah
sosial, tetapi juga berbagai bidang lain, termasuk politik. Dari perspektif
hukum adat Bali, nyama braya cermin
harmoni sosial orang Bali.
“Manyama braya itu penting. Tapi, apakah
kita mengetahui dan memahami hakikat nyama
braya itu secara tepat, ini penting pula didiskusikan,” kata Guru besar
hukum adat Bali dari Fakultas Hukum Universitas Udayana, Prof. Dr. Wayan P.
Windia, S.H., M.Si., saat menjadi pembicara dalam seminar seri sastra, sosial,
dan budaya di Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana (Unud), Selasa (21/2).
Seminar dihadiri para dosen, mahasiswa dan masyarakat umum.
![]() |
Wayan P. Windia (sumber: www.fib.unud.ac.id) |
Windia menjelaskan
istilah nyama braya dikenalkan oleh
AA Made Cakra melalui lagu “Bungan Sandat” beberapa puluh tahun lalu. Akan
tetapi, istilah nyama braya baru
mencapai popularitasnya dalam wacana publik di Bali setelah lagu “Bungan Sandat”
didendangkan penyanyi lagu pop Bali, AA Wirasuta.
Istilah nyama dan braya dalam adat Bali memiliki perbedaan makna yang jelas. Nyama merujuk kepada hubungan darah,
terutama dari garis kapurusa
(patrilineal). Braya mengacu kepada
hubungan perkawanan, pasawitran atau kanti.
“Nyama erat kaitannya dengan pasidikaran, sembah kasembah, sumbah
kasumbah, parid kaparid dan tegen kategen,” beber dosen kelahiran
Ubud, Gianyar, 27 November 1955 ini.
Dalam hukum
adat Bali, tegas Windia, nyama
memiliki linggih atau status hukum
yang kuat dalam hal hak waris. Orang yang berada dalam hubungan nyama memiliki hak warisan, sedangkan braya tidak sama sekali.
Nyama meliputi hubungan darah ke atas
atau undagan nyama (garis keturunan
ke atas) dan lingsehan nyama (garis
keturunan ke samping). Undagan nyama dalam adat Bali, secara berurutan meliputi bapa (ayah), pekak (kakek), kumpi, kelab, kelambiyun, klepek, dan klewaran. Lingsehan nyama di antaranya misan,
mindon, mindon ping pindo, mindon
ping telu.
Menurut
Windia, penggabungan istilah nyama
dan braya memberi pesan kepada orang
Bali untuk memperkokoh kedua hubungan itu, baik karena ada hubungan darah (nyama) maupun hubungan karena perkawanan
atau persahabatan. Keduanya harus sama-sama dijaga dan dikuatkan sehingga
tercipta rahayu (kedamaian).
Namun, Windia
juga mengkritisi penggunaan istilah nyama
selam, nyama kristen dan nyama cina. Kata Windia, jika merujuk
makna nyama braya dalam adat Bali,
istilah nyama untuk relasi yang bukan
berdasarkan hubungan darah, tidak tepat.
Menurut
Windia, istilah yang tepat semestinya braya
selam, braya kristen, dan braya cina. “Penggunaan istilah nyama selam, nyama kristen, atau nyama
cina itu murni kesalahan pemahaman terhadap konsep nyama dan braya dalam
adat Bali,” kata penulis buku Meluruskan
Awig-awig yang Bengkok ini.
Meski sebagai
cerminan harmoni sosial orang Bali, nyama
braya bukan tanpa masalah. Cukup sering terjadi hubungan nyama terganggu bahkan rusak karena puik (bermusuhan) atau pegat manyama (putus hubungan keluarga).
Bahkan, ada kasus retaknya hubungan antara anak dan orang tua yang dikenal
dengan istilah pegat mapianak (putus
hubungan ayah-anak). Hal serupa juga muncul dalam hubungan mabraya.
“Intinya,
jangan sampai melupakan per-nyama-an
dan jangan juga mengabaikan per-braya-an.
Kedua-duanya harus diperkokoh untuk mewujudkan kedamaian bersama,” kata Windia
yang tahun lalu meluncurkan buku Mamadik:
Cara Biasa Orang Biasa Kawin Biasa di Bali. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar