Meski bahasa
Bali sebagai salah satu dari 12 bahasa daerah di Indonesia dengan status aman,
masa depan bahasa ibu masyarakat Pulau Dewata ini masih tetap mengundang
kecemasan. Fakta mengenai makin menyusutnya penutur bahasa Bali, terutama di
kalangan generasi muda dan anak-anak, menjadi pemantik munculnya kekhawatiran
itu. Jika tidak segera disikapi serius, bukan tidak mungkin bahasa Bali akan
turun status menjadi rentan atau terancam punah. Karena itu, strategi
pendokumentasian bahasa Bali mesti diubah dari dokumentasi secara fisik menjadi
dokumen hidup dengan cara melakoninya. Sederhananya, cukuplah berbicara tentang
bahasa Bali, tapi marilah secara nyata berbahasa Bali dalam kehidupan
sehari-hari.
Pandangan ini
berkembang dalam diskusi panel hari pertama Seminar Nasional Bahasa Ibu (SNBI)
X yang digelar Asosiasi Peneliti
Bahasa-bahasa Lokal (APBL), Program Studi Magister dan Doktor Ilmu Linguistik
Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Udayana serta Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, di auditorium Widya Sabha FIB Unud, Kampus Nias Denpasar, Jumat-Sabtu
(24-25/2). Seminar bertajuk “Pendokumentasian dan Pemberdayaan Bahasa-bahasa
Daerah sebagai Penyangga Kekuatan Budaya Banga” ini yang merupakan agenda rutin
memperingati Hari Bahasa Ibu yang jatuh saban 21 Februari . Seminar diikuti
para akademisi, peneliti, guru, mahasiswa, serta pemerhati bahasa dan sastra
dari berbagai daerah di Indonesia.
![]() |
Anggota DPD RI Perwakilan Bali, Gde Pasek Suardika saat berbicara dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu (SNBI) X di Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Unud, Jumat-Sabtu (24-25/2). |
Anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) RI perwakilan Bali, Gde Pasek Suardika yang tampil
sebagai pembicara kunci menyatakan kematian sebuah bahasa akan terjadi apabila
bahasa itu tidak bermanfaat bagi masyarakat penuturnya. Bahasa Bali pun akan
bisa mengalami hal yang sama karena belakangan muncul kecenderungan pandangan
di kalangan masyarakat yang menganggap bahasa Bali tidak memberikan manfaat
ekonomi.
Kondisi ini,
kata mantan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma
Indonesia (KHMDI) ini, menjadi tantangan bagi para akademisi dan pemerintah.
“Strategi pendokumentasian harus diubah, dari dokumentasi mati ke dokumentasi
hidup,” kata Pasek.
Dokumentasi
mati cenderung menjadikan bahasa Bali seperti layaknya benda museum. Sebaliknya
dokumentasi hidup menempatkan bahasa Bali tumbuh dalam hati sanubari dan laku
diri sehari-hari.
Pandangan
Pasek ini senada dengan pandangan Guru Besar Ilmu Linguistik Universitas
Sumatera Utara, Robert Sibarani. Menurutnya, selama ini bahasa ibu hanya
diposisikan sebagai objek penelitian. Bahasa ibu tidak lagi dijadikan alat
komunikasi utama sehari-hari serta tidak memberikan kebanggaan. Komunikasi
utama sehari-hari kini cenderung menggunakan bahasa Indonesia tetapi belum
mampu memberikan kebanggaan. Rasa bangga itu justru didapatkan masyarakat
ketika menggunakan bahasa Inggris.
“Bahasa ibu
diutak-atik, diteliti, tapi tidak pernah digunakan. Banyak doktor dan magister
lahir dari bahasa ibu, tetapi ironisnya bahasa ibu semakin marginal dan tidak
memberikan kebanggaan,” kata Robert.
Kondisi ini
terjadi, menurut peneliti tradisi lisan ini, dikarenakan para akademisi lebih
fokus pada bahasa, bukan pada berbahasa. “Bahasa itu sumber budaya, sedangkan
berbahasa itu praktik budaya. Kita asyik di bahasa, lupa berbahasa,” ujar
Robert.
Menurut
Robert, studi terhadap bahasa tetap penting. Namun, para akademisi seharusnya
mengarahkan perhatiannya lebih besar kepada upaya menggerakkan orang agar mau
berbahasa ibu. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar