Kekhawatiran mengenai bergesernya pengembangan
pariwisata Bali dari konsep pariwisata budaya menjadi pariwisata budaya
tampaknya mulai menjadi kenyataan. Setidaknya, tanda-tanda itu terlihat dari
termarginalkannya ideologi Tri Hita Karana yang menjadi landasan pariwisata
budaya dalam media promosi pariwisata Bali belakangan ini. Media promosi
pariwisata Bali kini didominasi oleh ideologi kapitalisme.
Temuan
ini dipaparkan dosen Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Seni
Indonesia (ISI) Denpasar, AA Gde Bagus Udayana saat menyampaikan disertasinya
pada ujian promosi doktor di Program Studi S3 Kajian Budaya Universitas
Udayana, Selasa (11/10). Udayana menyampaikan disertasi dengan judul “Dekonstruksi
Ideologi Pada Media Promosi Pariwisata Budaya Bali” dengan promotor, I Nyoman
Darma Putra, Nengah Bawa Atmadja, dan I Nyoman Dana. Disertasi Udayana diterima
dengan predikat kelulusan Sangat Memuaskan.
![]() |
Ritual melasti yang khas mencerminkan identitas Bali. (balisaja.com/sujaya) |
Dalam
penelitiannya yang difokuskan di kawasan Bali Selatan, Udayana menemukan
dominannya ideologi kapitalisme dalam media promosi pariwisata budaya Bali
karena pihak pembuat media promosi pariwisata memang berorientasi pada
keuntungan yang hendak ditingkatkan. Mungkin banyak orang menilai hal itu wajar
karena pariwisata termasuk kegiatan ekonomi. Akan tetapi, menurut Udayana,
perkembangan ini berdampak serius bagi pembentukan citra pariwisata Bali.
“Media-media
promosi pariwista Bali itu tidak lagi menunjukkan Bali sebagai daerah
pariwisata budaya, tetapi sebaliknya pariwisata budaya. Artinya, pariwisata
Bali dikembangkan dengan mengikuti selera wisatawan atau selera pasar
pariwisata,” kata lelaki kelahiran Gianyar, 4 Oktober 1973 ini.
Udayana
mencontohkan media promosi sebuah objek wisata gajah yang menggunakan foto bule
memandikan gajah di sebuah bukit. Jika orang hanya melihat selintas, orang bisa
menyimpulkan objek wisata yang dipromosikan bukanlah Bali tetapi daerah lain.
Dalam media promosi itu sama sekali tak tampak ciri Bali.
“Ini
berarti identitas Bali telah diubah dalam media promosi pariwisata itu sehingga
sulit untuk membedakan apakah gambar itu tentang Bali atau bukan. Jikalau saja
gambar itu, misalnya, diisi dengan tulisan Lombok, bisa saja orang percaya
gambar itu tentang Lombok, karena identitas Bali tidak melekat dalam gambar
itu,” beber Udayana yang juga Pembantu Dekan III FSRD ISI Denpasar.
Udayana
juga mengkritik pemunculan foto pejabat dalam media promosi pariwisata.
Menurutnya, hal itu kurang tepat karena terkesan menonjolkan personal pejabat
bukan objek wisata atau daerah yang dipromosikan. Udayana menyebut itu sebagai
cerminan ideologi totalitarianisme.
Menurut
Udayana, pembuatan media promosi pariwisata budaya Bali semestinya mengikuti
amanat Peraturan Daerah (Perda) Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Pariwisata Budaya Bali. Dengan demikian media promosi pariwisata budaya Bali
tetap menunjukkan kekhasan identitas Bali sebagai daerah pariwisata, tetapi
tetap menarik bagi wisatawan untuk berkunjung ke Bali.
Pihak
yang terkait dengan sistem pengonstruksian media pariwisata budaya Bali
hendaknya tidak hanya berorientasi pada kepentingan ekonomis, tetapi juga
berorientasi kepada budaya Bali. “Pariwisata yang dikembangkan adalah
pariwisata budaya yang bermodalkan budaya Bali, termasuk Tri Hita Karana.
Dengan demikian, identitas Bali yang mempunyai daya tarik wisata tinggi
diharapkan dapat terjaga,” kata Udayana. (b.)
Teks dan Foto:
Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar