Tak ada api yang lebih berbahaya
daripada api dendam. Api fisik, betapa pun besarnya, bisa dipadamkan dengan
air. Bila pun butuh waktu untuk memadamkan, tak sampai bertahun-tahun. Tapi,
api dendam yang telanjur berkobar-kobar, sungguh tidak mudah dipadamkan.
Bahkan, setelah lewat satu generasi pun, api dendam masih menyala.
Itu sebabnya, orang-orang bijak
mengajarkan untuk tidak merawat dendam. Orang yang memelihara dendam sama
halnya dengan merusak dirinya sendiri. Dendam ibarat luka. Merawat dendam bisa
disamakan dengan membiarkan luka menganga sepanjang waktu. Dendam akan melahirkan dendam juga. Bila sudah
begitu, dendam tak akan pernah berakhir.
Orang Bali dalam sebuah garapan seni |
Epos Mahabharata menjadi cermin betapa dendam yang dipelihara hanya akan
melahirkan dendam juga. Pada akhirnya, api dendam yang dibiarkan berbiak hanya
membuahkan penderitaan berkepanjangan, bahkan kehancuran sebuah generasi.
Dendam Drupadi atas penghinaan Duryodana dalam sidang judi di Hastinapura
melahirkan perang Baratayudha. Manakala seluruh Kurawa tewas di medan perang,
Aswatama menunaikan dendam Duryodana dengan membunuh anak-anak Pandawa, Panca
Kumara. Dendam dilawan dendam.
Jumat (3/6) lalu, Sukra Wage wuku Wayang yang ditandai orang Bali
sebagai hari Dina Kala Paksa, hari paling kotor dan keramat, Dewa Gede Artawan
(30), seorang lelaki Bali yang diduga kuat sebagai anggota salah satu
organisasi masyarakat (ormas) tewas ditebas tiga orang bercadar di wilayah
Banjar Dentiyis, Desa Batuan, Kecamatan Sukawati, Gianyar. Polisi memang belum
merilis identitas dan dari kelompok mana pelaku berasal, tapi masyarakat
menduga kuat kasus ini berkaitan dengan bentrok antarormas yang terjadi
Desember 2015 lalu. Di mata publik, setidaknya yang terekam melalui media
sosial, tewasnya Dewa Gede Artawan sebagai buah dendam antarormas. Dan, api
dendam itu berkobar-kobar tepat pada saat orang Bali tengah bersujud dalam
ritus pengendalian diri pada hari Dina Kala Paksa. Entah kebetulan atau tidak,
pada hari itu pula, kalender Bali menandainya sebagai Gnirawana, hari baik
untuk segala kegiatan bakar-membakar. Dan, pada hari itu pula, bara api dendam
kembali terbakar, berkobar menyala-nyala.
Adakah orang Bali memang memendam
karakter pendendam? Bukankah orang Bali dikenal sebagai etnis dengan pribadi
ramah, hangat dan begitu mudah bersahabat dengan orang luar?
(Baca: Melacak Watak Beringas Orang Bali)
(Baca: Melacak Watak Beringas Orang Bali)
Tapi, sejarah Bali memang
mencatat betapa di masa kerajaan dulu, konflik antarkerajaan tidak hanya
didorong persaingan politik antarkerajaan, tak jarang juga dipicu dendam
antarpenguasanya. Manakala pecah tragedi politik 1965, dendam pribadi
disebut-sebut banyak mendomplengi pembantaian orang-orang dan simpatisan Partai
Komunis Indonesia (PKI).
Kendati begitu, Bali juga pernah
mencatat jejak kearifan menyelesaikan konflik hingga dendam tak terus berbiak.
Catatan mengenai resolusi konflik ini banyak ditemukan dalam prasasti-prasasti
Bali Kuno. Raja-raja Bali Kuno memutus dendam akibat konflik itu dengan
membuatkan kesepakatan bersama antarpihak yang berkonflik dan memfasilitasi
pendirian pura yang di-sungsung
secara bersama. Namun, pasacakeruntuhan Gelgel, Bali kembali dirajam konflik
internal yang tidak jarang dipicu oleh dendam pribadi antarpenguasa. Resolusi
damai yang bertahan lama cenderung tidak muncul.
Ikhtiar meredam dendam orang Bali
dengan sesama Bali akan lebih bertahan lama bila muncul dari mereka yang
berkonflik, memang. Tapi, para pemimpin yang diberi hak untuk berkuasa,
seyogyanya turun tangan manakala inisiatif berdamai sulit diharapkan muncul seutuhnya
secara tulus dari pihak yang berkonflik. Atau, bila pun resolusi damai muncul
tetapi tidak untuk ditaati kedua pihak.
Pemimpin
mesti berolah cerdas, tegas, sigap namun tetap bijaksana mencari solusi dan
resolusi yang menjamin konflik tak makin membiak, apalagi menjelma teror bagi
rakyat. Pemimpin yang baik tak akan membiarkan rakyatnya dibekap dalam teror
ketakutan karena ada sekelompok orang dengan entengnya menghabisi nyawa orang
di depan umum. Pemimpin yang baik tak cukup hanya mengutuk keras tindak
kekerasan yang dilakukan sekelompok orang. Pemimpin yang baik tak akan berkelit
dengan alasan tak punya kewenangan menindak kelompok-kelompok yang doyan
menggunakan kekerasan. Dan kini, orang Bali menyimpan dahaga akan hadirnya
pemimpin semacam itu. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar