Tradisi Makare-kare atau Perang Pandan menjadi ikon Desa Adat Tenganan Pagringsingan. Berbarengan dengan suasana perayaan hari Saraswati, Jumat-Sabtu (24-25/6), desa Bali Aga di Karangasem, Bali itu kembali
menggelar tradisi Makare-kare.
Makare-kare merupakan bagian dari Usaba
Sambah. Ini merupakan ritual terbesar dalam setahun yang dirayakan warga
Tenganan Pagringsingan dengan hati riang. Upacara ini dilaksanakan sebulan
penuh. Usaba Sambah jatuh pada bulan
kelima dalam perhitungan penanggalan Tenganan Pagringsingan (sekitar bulan
Mei-Juni).
Usaba Sambah sendiri ada yang disebut sebagai Usaba Sambah biasa dan ada yang disebut Usaba Sambah Muran. Usaba Sambah Muran jatuh tiap tiga tahun sekali. Usaba Sambah tahun ini termasuk Usaba Sambah Muran.
Tradisi Makare-kare selama Usaba Sambah sendiri sejatinya dilaksanakan
sebanyak empat kali. Pertama, Makare-kare desa dilaksanakan di Bale Agung. Berikutnya ada Makare-kare di Patemu Kaja, Makare-kare
di Patemu Kelod dan terakhir Makare-kare
di Patemu Tengah. Makare-kare ketiga dan
terakhir yang lebih dikenal orang daripada Makare-kare
pertama dan kedua. Wajar, Makare-kare pertama dan kedua lebih bersifat simbolis. Sedangkan Makare-kare ketiga dan keempat diikuti
banyak orang termasuk orang luar Tenganan Pagringsingan.
Menurut AA Gde
Putra Agung dalam buku Magebug dan Makare
Seni Tari Tradisional di Karangasem Bali, kata Makare-kare berasal dari kata kale
yang disamakan dengan kata kali
yang artinya ‘perang’. Karena itu, Putra Agung menggolongkan Makare-kare
sebagai tari perang.
Memang, jika
melihat wujud tradisi ini jelas-jelas sebagai sebuah pertarungan atau
peperangan. Dua orang laki-laki yang membawa tamiang (tameng) yang terbuat dari ata serta membawa segenggam daun
pandan berduri (pandan lengis) saling
menggores punggung lawannya. Dari sini pula kemudian lahir sebutan Perang Pandan. Tubuh orang yang
terluka karena terkena goresan duri pandan akan diobati dengan boreh yang
berbahan cuka, bangle, kunyit dan isen (lengkuas). Menurut pengalaman orang-orang yang pernah ikut Makare-kare, luka akibat goresan pandan
itu cepat kering setelah diolesi boreh khas Tenganan itu. Paling lama luka itu
bertahan selama dua hari.
Biasanya, Makare-kare ini diiringi dengan gamelan
Selonding. Ini merupakan salah satu instrumen atau gamelan Bali
yang tergolong tua. Gamelan Selonding hanya terdapat di desa-desa tua seperti
Bungaya, Bugbug dan Tenganan Pagringsingan dan biasanya sangat disakralkan
warga setempat.
Meski begitu,
ada juga peneliti yang menyejajarkan tradisi Makare-kare dengan tabuh rah.
Hal ini dikarenakan adanya darah yang keluar dari tubuh peserta Makare-kare akibat tergores duri pandan.
Namun, masyarakat Tenganan Pagringsingan sendiri umumnya kurang sependapat jika
Makare-kare disamakan dengan tabuh rah. Mereka lebih sepakat jika itu
sebagai tarian perang sebagai peringatan atas keberanian orang-orang Tenganan
di masa lalu.
Memang, di
kalangan warga Tenganan Pagringsingan berkembang cerita kemahsyuran Kaki Tambora.
Tokoh yang diyakini kuat berasal dari Tenganan Pagringsingan ini di kalangan
masyarakat Lombok dikenal sebagai orang kebal
dan kuat saat ikut memperkuat laskar Kerajaan Karangasem saat menyerang
Kerajaan Lombok. Kaki Tambora disebut-sebut sebagai satu-satunya orang yang
berani ikut magebug melawan orang-orang Sasak.
Putra Agung
mengaitkan kepercayaan tentang kekebalan orang-orang Tenganan ini dengan
tradisi macane yang masih hidup di
Tenganan. Tradisi macane berwujud
menggoreskan bedak kuning dan beras pada lengan. Diduga awalnya upacara macane di Tenganan Pagringsingan dulu
dilakukan dengan pandan juga. Namun, kemudian diganti dengan pelaksanaan secara
simbolis.
Terlepas dari
semua itu, yang dititikberatkan dalam Makare-kare
adalah unsur tariannya. Tidak ada menang-kalah. Setelah Makare-kare selesai, dilanjutkan dengan makan bersama (magibung). Karena itu, tujuan utama dari
tradisi ini sejatinya untuk mengukuhkan kebersamaan. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar