Karya sastra prosa, seperti cerpen dan novel yang ditulis perempuan pengarang Bali belakangan ini menunjukkan kecenderungan penggunaan teknik monolog interior. Namun, penggunaan teknik ini dinilai gagal oleh kritikus sastra Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana (FSB Unud), Made Jiwa Atmaja. Kegagalan itu diakibatkan kecenderungan perempuan pengarang Bali yang belum berani dan tidak berhasil keluar dari dunia personalnya menuju dunia interpersonal.
Jiwa Atmaja menyampaikan kritiknya ini saat tampil sebagai pembedah buku kumpulan cerpen Perempuan Tanpa Nama karya Kadek Sonia Piscayanti di gedung Sewaka Dharma Kota Denpasar, Sabtu (2/4) kemarin. Selain Jiwa Atmaja, tampil juga Gde Artawan yang membedah buku 69 Puisi di Rumah Dedari (kumpulan puisi) karya Dewa Putu Sahadewa, Puji Retno Hardiningtyas yang membedah Wijaya Kusuma dari Kamar Nomor Tiga (novel) karya Maria Matildis Banda dan I Wayan Suardiana yang membedah Calonarang (buku kumpulan cerpen berbahasa Bali) karya I Made Suarsa. Bedah buku digelar serangkaian pelantikan pengurus Himpunan Sarjana-Kesusastraa Indonesia (Hiski) Komisariat Bali periode 2016—2020.
Menurut Jiwa Atmaja, ada kecenderungan perempuan pengarang Bali dalam prosanya kerap menggambarkan laki-laki Bali sebagai laki-laki yang berkarakter buruk dan tidak bertanggung jawab terhadap keluarganya. Namun, setelah menghamburkan caci-maki dan menghabiskan imajinasinya terhadap laki-laki Bali, perempuan Bali dalam karya perempuan pengarang Bali terlihat seolah terjebak pada kultur, tidak berani meninggalkan suaminya. Gambaran semacam ini, kata Jiwa Atmaja, dikarenakan gaya monolog interior yang digunakan tidak dikembangkan ke arah fokalisasi.
“Ini masalah wacana sastra, masalah teori naratif yang jarang dikuasai pengarang dan juga kritikus. Seseorang yang bercerita tidak cukup hanya punya cerita yang bagus, tapi dia juga harus mempertaruhkan cara bertuturnya yang bagus juga. Itu baru namanya wacana sastra. Ini kelemahan umum pada perempuan pengarang Bali, termasuk Sonia,” kata Jiwa Atmaja.
Teknik monolog interior yang tidak dikembangkan ke teknik fokalisasi juga terlihat pada karya-karya Oka Rusmini. Akibat kegagalan mengembangkan teknik fokalisasi, perempuan pengarang Bali tidak berhasil mengembangkan karakter penokohan dan insiden dengan baik.
Kegagalan penggunaan teknik monolog interior berakibat pada cerpen-cerpen karya perempuan pengarang Bali, menurut Jiwa Atmaja, tampak seperti esai imajinatif. Memang ada tokoh ‘aku’, tapi ‘aku’ di situ bukan sebagai tokoh melainkan sebagai narator sehingga tak memiliki karakter.
Jiwa Atmaja menambahkan struktur bercerita pengarang perempuan Bali pada umumnya sama. Perempuan pengarang Bali tidak berani dan tidak berhasil keluar dari dunia personalnya menuju dunia interpersonal. “Akibatnya, cerpen-cerpen Sonia terasa seperti buku harian, pengarang menumpahkan perasaannya sendiri tentang kejengkelan-kejengkelan yang dihadapi,” ujar Jiwa Atmaja.
Dalam pandangan Jiwa Atmaja, seorang pengarang wajib menguasai teori sastra, khususnya teori naratologi atau cara bertutur yang baik. Jiwa Atmaja mencontohkan sejumlah pengarang Indonesia yang memiliki kemampuan menggunakan teknik monolog interior dengan baik, di antaranya Hamsad Rangkuti, Ahmad Tohari, Putu Wijaya dan Gde Aryantha Soethama.
Namun, Jiwa Atmaja memuji kemampuan Sonia berimajinasi yang begitu liar. Pengarang muda yang juga dosen Undiksha ini juga dinilai Jiwa Atmaja berhasil memotret masyarakat bawah dan mendeskripsikan latar cerita dengan detail. “Tapi semua kelebihannya itu harus didukung dengan cara bertutur yang baik dengan mengembangkan teknik fokalisasi,” tandas Jiwa Atmaja.
Sonia, saat memberi komentar di akhir diskusi, menyatakan terima kasih atas kritik Jiwa Atmaja. Sonia mengatakan dirinya memang terus belajar mengembangkan teknik berceritanya. Mengenai gambaran buruk laki-laki Bali dalam karyanya, Sonia mengatakan dirinya hanya ingin menyampaikan betapa laki-laki Bali cenderung menghakimi dan perempuan Bali mendiamkannya. Namun, jika kemudian pembacaan terhadap karyanya memunculkan pandangan berbeda, hal itu diserahkannya kepada pembaca. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI