Untuk kedua kali, organisasi pemuda Eka Santhi Kedonganan
menggelar tradisi Mabuug-buugan saat hari Ngembak Gni (sehari setelah Nyepi),
Kamis (10/3). Tradisi yang sudah 30
tahun tidak pernah digelar itu mulai direkonstruksi anak-anak muda di desa ini
pada Nyepi tahun lalu. Lebih dari sekadar revitalisasi tradisi, Mabuug-buugan
sejatinya bisa dijadikan media menyampaikan pesan menjaga lingkungan, khususnya
menjaga kebertahanan hutan bakau di wilayah Kedonganan.
Tradisi Mabuug-buugan digelar di kawasan hutan bakau yang
teeletak di pantai timur Kedonganan. Tokoh masyarakat Kedonganan, I Ketut Madra
menyatakan sejak dulu tempat Mabuug-buugan memang di kawasan bakau. Adanya
daerah rawa-rawa dengan bentangan lumpur yang luas mungkin menjadi pertimbangan
pemilihan tempat itu.
Aspek tempat menjadi menarik dicermati dalam tradisi
Mabuug-buugan. Di balik pemilihan tempat di hutan bakau inilah justru pesan
penting tradisi ini: menjaga keajekan hutan bakau itu.
Para tetua Kedonganan di masa lalu tampaknya sadar betul
betapa pentingnya fungsi bakau sebagai penyangga tanah kelahiran mereka. Jika
bakau hilang, air laut di pantai timur akan bersatu dengan pantai barat.
Kedonganan pun tenggelam.
Para peneliti lingkungan sejak lama mengingatkan betapa
pentingnya fungsi hutan bakau. Setidaknya ada lima fungsi penting hutan bakau,
yakni mencegah intrusi air laut, mencegah erosi dan abrasi pantai, sebagai
pengurai limbah organik dan penghalang angin laut yang berhembus kencang,
sebagai tempat hidup dan sumber makanan bagi beberapa jenis satwa, serta
berperan dalam pembentukan pulau dan menstabilkan daerah pesisir.
Karena itu, revitalisasi tradisi Mabuug-buugan patut
didukunmg karena sejalan dengan semangat penyelamatan hutan bakau yang kini
digaungkan. Rasa salut patut diberikan kepada anak-anak muda Kedonganan karena
mereka tidak perlu berkoar-koar atau beradu spanduk menunjukkan kepeduliannya
kepada hutan bakau, tetapi aksi nyata berkesadaran kultural menyelamatkan hutan
bakau. Revitalisasi tradisi Mabuug-buugan bisa dibaca sebentuk “perlawanan
halus” masyarakat Kedonganan terhadap upaya untuk memberangus kawasan hutan
bakau.
Memang, tanpa ada hutan bakau, tradisi Mabuug-buugan bisa
saja dilaksanakan. Mungkin saja menyulap sebuah lahan kosong menjadi medan
lumpur lalu dijadikan tempat tradisi Mabuug-buugan. Namun, nuansa kulturalnya
tentu saja tidak sekuat jika tradisi itu digelar di hutan bakau.
Namun, gelaran tradisi Mabuug-buugan di hutan bakau Kedonganan
juga mesti dibaca sebagai tantangan untuk menjaga hutan bakau tidak dijadikan
tempat membuang sampah atau pun limbah. Jika hutan bakau sudah tercemar,
tradisi Mabuug-buugan tentu saja bisa menimbulkan persoalan kesehatan, selain
masalah lingkungan. Jika tradisi Mabuug-buugan hendak dipertahankan, masyarakat
Kedonganan mesti berjuang menjaga hutan bakaunya dari pencemaran, selain tentu
menjaga kebertahanan hutan bakau itu sendiri.
Itu sebabnya, tradisi Mabuug-buugan tidak boleh hanya
berhenti sebatas tradisi setahun sekali. Tradisi Mabuug-buugan jangan juga
hanya sebatas melayani romantisme atas kearifan lokal yang sejak lama hilang.
Apalagi sampai menempatkan tradisi ini semata-mata sebagai atraksi wisata
suguhan bagi para pelancong yang kebetulan tengah menikmati liburan hari Nyepi
di Bali.
Tradisi Mabuug-buugan harus diikuti dengan strategi
sosial-kultural untuk memperkuat kesadaran dan tindakan nyata merawat hutan
bakau. Tradisi yang baik adalah tradisi yang kontributif untuk kehidupan
manusia yang lebih baik, kian bermartabat dan makin menghargai kehidupan.
Seperti halnya makna filosofis tradisi Mabuug-buugan yang
bisa dilacak dari perangkat penting yang digunakan: buug (lumpur). Memang,
dalam bahasa Bali, kata buug berarti
'lumpur'. Mabuug-buugan berarti
'beraktivitas dengan lumpur'. Lumpur identik dengan tanah. Secara konseptual
tanah merupakan cerminan perthiwi
(bhur) yang menjadi sumber kemakmuran. Karena itu, tradisi mabuug-buugan juga bisa dimaknai sebagai wujud syukur kepada Tuhan
atas karunia kesuburan yang melimpah. (b.)
Teks: I Made Sujaya
Foto: Courtesy Agus
Astapa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar