Buleleng seringkali disebut
sebagai Bali yang lain. Pasalnya, di kabupaten yang terletak di sisi utara
Pulau Bali ini ditemukan sejumlah perbedaan mencolok dengan Bali di bagian Selatan
dan Timur.
Perbedaan paling nyata tentu saja arah utara-selatan. Utara di Bali Selatan
adalah selatan di Buleleng. Begitu juga selatan di Bali Selatan adalah utara di
Buleleng. Walaupun sejatinya, jika diselami lebih dalam, perbedaan utara dan
selatan ini lebih karena cara pandang. Titik orientasi utara dan selatan bagi
orang Buleleng juga sama. Gunung sebagai orientasi utara dan laut sebagai
orientasi selatan. Di Buleleng, gunung memang berada di sebelah selatan dan
laut di sebelah utara.
Buleleng juga mendapat julukan sebagai Bumi Panas. Tak hanya karena faktor
alam yang sedikit lebih hangat dari Bali Selatan, Buleleng juga kerap kali
lebih dulu “panas” dalam isu-isu sosial-politik. Kerap kali Buleleng membara
dengan konflik politik lantaran perbedaan warna pilihan politik, bahkan sampai
menelan korban jiwa. Kerusuhan Okober 1999 pascakekalahan Megawati
Soekarnoputri dalam pemilihan presiden dari Gus Dur, Buleleng menjadi daerah
pertama yang dilanda rusuh sosial sebelum merebak ke Denpasar dan sejumlah
daerah lain di Bali.
Namun, jejak Buleleng tidaklah sepenuhnya buram. Justru, Buleleng
mengguratkan sejarah penting bagi Bali karena menjadi daerah pertama yang
bersentuhan dengan modernisme. Sebagai daerah pertama yang ditaklukkan Belanda,
Buleleng paling awal menikmati perubahan.
Buleleng juga menjadi saksi dan pembuktian Bali pernah bersatu dan tak
terkalahkan. Tahun 1841, Inggris mengurungkan niatnya menyerang Buleleng karena
melihat kuatnya persatuan raja-raja Bali membantu Buleleng. Kala itu, Buleleng
menjadi simbol persatuan Bali.
Persatuan itu kembali dikukuhkan saat Perang Jagaraga I tahun 1846. Ekspedisi khusus Belanda yang dipimpin Mayor Jenderal Jonkheer C. van der Wijck yang juga
sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Darat Hindia Belanda dengan kekuatan sedikitnya
4 batalyon, 2.265
orang perwira, bintara dan prajurit, 156 ekor kuda lengkap dengan persenjataan
senapan, meriam dan mortar, 500 orang pasukan bantuan dari Madura dan 500 orang kulit pengangkut tak mampu menembus benteng Jagaraga.
Pihak Jagaraga
sudah menyiapkan diri untuk perang sejak dua tahun sebelumnya. Raja-raja Bali juga memberikan bantuan. Klungkung mengirimkan 1.650
prajurit pilihan yang dipimpin I Dewa Kteut Agung. Karangasem juga membantu
dengan 1.200 prajurit serta Mengwi mengirimkan 600 orang prajuritnya.
Patih Jelantik
menggunakan sistem pertahanan supit urang (makara
wyuha) seperti digunakan Yudistira dalam Perang Bharatayudha ketika
menghadapi Kurawa. Pada bagian kepala ditempati Patih Jelantik, Raja Buleleng
dan para pengatur perang lainnya sebagai pusat komando. Pada ujung supit kiri
dan kanan ditempatkan pasukan Buleleng dan Jagaraga yang gesit dan lincah serta
sudah mengetahui keadaan. Pada bagian mulut yang berada di depan dan belakang
tembok benteng ditempatkan pasukan campuran dari kerajaan-kerajaan sahabat.
Benteng lambung barat dipercayakan kepada laskar Jembrana dan Mengwi. Sementara
kekuatan benteng pada bagian badan dipercayakan kepada pasukan Klungkung,
Gianyar dan Karangasem. Pada bagian ekor ditempatkan pasukan bantuan dan
perbekalan.
Benteng yang
kuat dan sistem pertahanan yang rapi ini ternyata membuahkan hasil. Pasukan
Belanda bisa dihancurkan oleh laskar Bali .
Pada 8 Juni 1848 terjadi pertempuran sengit di Desa Bungkulan dan sekitarnya.
Dalam pertempuran ini, di pihak Belanda jatuh korban 8 orang tewas, 8 orang
luka-luka, termasuk Letnan Wichers.
Keesokan
harinya, pasukan Belanda berhasil masuk ke Jagaraga. Namun, Belanda gagal
menembus benteng Jagaraga. Yang terjadi malah sebaliknya, banyak jatuh korban
dari pihak Belanda. Pasukan Belanda kocar-kacir hingga akhirnya kembali ke
Jawa.
Menurut laporan
Kepala Staf Pasukan Ekspedisi Belanda, Letnan Kolonel J. van Swieten, di pihak
Belanda jatuh korban 5 orang perwira, 94 orang bintara. Yang luka-luka 7 orang,
98 orang bintara dan prajurit. Korban di pihak Bali disebutkan 3 orang pedanda,
35 orang Brahmana, 163 orang bangsawan dan pembekel serta 2.000 orang pasukan.
Kekalahan di
Jagaraga ini menjadi pukulan telak bagi pemerintah Belanda. Di seantero Hindia Belanda
termasuk hingga ke Belanda kekalahan itu menjadi perbincangan.
Hanya sayangnya,
ketika Belanda mengadakan serangan balasan pada pertengahan April 1849,
Jagaraga tidak memperkuat benteng pertahanannya. Selain itu, sejumlah raja Bali juga tidak memberikan dukungan terhadap perjuangan
Patih Gusti Jelantik. Malah beberapa kerajaan terang-terangan memilih berpihak
dan membantu Belanda.
Di bawah
pimpinan Mayor Jenderal Michiels, Belanda pun bisa menduduki benteng Jagaraga
pada 16 April 1849. Patih Gusti Jelantik bersama Raja Buleleng juga akhirnya
gugur karena adanya serangan mendadak di daerah Seraya.
Kendati begitu,
kemenangan di Jagaraga pada 9 Juni 1848 merupakan sebuah kemenangan gemilang
yang pantas dikenang. Kemenangan di Jagaraga lebih merupakan kemenangan harga
diri. Kemenangan itu menunjukkan kematangan strategi dan siasat jitu pejuang Bali . Pada titik yang lain, Perang Jagaraga juga
memperlihatkan persatuan di antara sejumlah kerajaan di Bali menentang invasi
Belanda. Dan Buleleng menjadi simbol
jengah, keberanian dan persatuan rakyat Bali menghadapi invasi asing.
Karena itu, bila hari ini, 30 Maret 2016 Kota Singaraja merayakan hari jadi ke-412,
selayaknya bukan hanya menjadi kegembiraan warga Buleleng, tetapi juga tonggak
refleksi seluruh orang Bali. Dirgahayu Kota Singaraja! (b.)
Teks: I Made Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar