Pendongeng
Bali, Made Taro dan putra sulungnya,
Gede Tarmada kembali mendapat kesempatan berpartispasi dalam
acara “The Fourth International
Storytelling Festival in Thailand”. Keduanya akan bergabung
dengan sekitar 20 pendongeng internasional lainnya untuk berpartisipasi dalam
kegiatan-kegiatan mendongeng, workshop,
dan seminar di beberapa tempat di Negeri Gajah Putih itu.
![]() |
Made Taro (kiri) dan putranya, Gede Tarmada (kanan) |
Made Taro dan putranya direncanakan tampil perdana
di Bangkok Art and Culture Centre (BACC), Bangkok pada 23-24 Februari 2016.
Acara ini diselenggarakan Princess Maha Chakri Sirindhorn Anthropology Centre. Selanjutnya,
Made Taro dan Gede Tarmada tampil di Buddhist Center di Phra Nakorn Sri
Ayudhaya pada 24–25 Februari 2016. Disusul pada tanggal 26-28 Februari 2016 tampil di Mahasarakham University,
Provinsi Maha Sarakham.
“Partisipasi di
Mahasarakham University merupakan kali kedua setelah tahun lalu juga kami berpartisipasi
dalam acara yang sama di tempat itu,” kata Made Taro.
Festival
yang diselenggarakan di BACC Bangkok bertemakan “Perdamaian”. Menyesuaikan pengasuh
di Sanggar Kukuruyuk ini sudah menyiapkan dua dongeng tentang perdamaian yaitu "The Fighting between Ants"
(Bali) dan "The Whale and Sandpiper
Bird" (Marshall Island). Sedangkan festival yang diselenggarakan di
Mahasarakham University bertemakan tentang “Padi”. Untuk tema ini telah disiapkan
pula dua dongeng yaitu "Yellow
Rice" (Bali) dan "The Gift
of Young Rice" (Aceh).
“Dongeng-dongeng
yang akan kami ceritakan dalam setiap pertunjukan nanti dikombinasikan dengan
alat musik tradisional Bali cungklik
dan alat musik etnik Nusantara lainnya,” ungkap Made Taro.
Made
Taro berharap bisa melakukan yang terbaik
untuk Bali dan Indonesia. “Semoga lewat dongeng, saling pengertian dan perdamaian
antar bangsa dapat senantiasa terwujud” imbuhnya.
Made Taro lahir di Desa Sengkidu, Karangasem tahun 1939. Ilmu Arkeologi yang ditekuninya di Fakultas Sastra Unud Denpasar, membuatnya tertarik kepada penggalian dan pelestarian budaya mengenai cerita rakyat, permainan rakyat dan nyanyian rakyat. Melalui Sanggar Kukuruyuk, sanggar anak-anak yang didirikannya pada tahun 1979, ia mensosialisasikan ketiga jenis budaya itu dengan melakukan tayangan-tayangan di televisi, menulis di berbagai koran, majalah, dan menerbitkan banyak buku. Ketika mengajar Antropologi di SMA 2 Denpasar, Made Taro pernah mendapat tugas mengajar di beberapa sekolah di Darwin, Australia, menjadi dosen honorer di Fakultas Sastra Unud, Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Dwijendra, Denpasar, dan menjadi editor sastra di Bali Post Minggu selama 25 tahun.
Made Taro meraih sejumlah
penghargaan, di antaranya guru teladan, Seni Kerti Budaya, Bali Award, Anugerah
Permata, Adikarya Ikapi (Jakarta), Sastra Rancage (Jakarta), Hindu Books &
Readers Community, Widya pataka, K. Nada Nugraha, Gita Denpost Award, dan sebagai Seniman Senior Indonesia (Maestro Seni
Tradisi) dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar