Oleh I Wayan Suartana
Sampai dengan akhir tahun 2015, Lembaga
Perkreditan Desa (LPD) yang dicetuskan pada tahun 1984 di hampir seluruh
Desa Pakraman Bali, sepertinya menghadapi
masalah kegamangan pengaturan. Undang-Undang No. 1
tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) memberikan ruang bagi LPD untuk
menggunakan hukum adat sebagai dasar pengaturan tetapi nampaknya pemangku kepentingan
utama LPD belum melakukan langkah-langkah monumental, strategis dan kompak dari
seluruh komponen untuk menjalankan perintah Undang-Undang tersebut. Ada
Peraturan Daerah (Perda), Peaturan Gubernur (Pergub), Perda Kabupaten yang
menjadi dasar legalitas dan operasional LPD tetapi tidak satu pun pasal dalam peraturan
tersebut menerjemahkan UU No 1 tahun 2013 secara eksplisit melalui upaya mengiriskan
ekonomi kelembagaan dan Hukum Adat Bali. Patut disyukuri, manakala pekan lalu
terbetik kabar, Gubernur Bali dan DPRD Bali telah bersepakat untuk mencabut
Perda No. 4 Tahun 2012 tentang LPD dan Dewan berencana mengajukan rancangan
peraturan daerah (ranperda) inisiatif yang mengatur kembali LPD sejalan dengan
amanat UU LKM.
Secara ekonomi LPD mempunyai potensi
besar karena cakupan yang luas di seluruh Desa Pakraman tetapi di lain pihak bisa
pula menjadi tsunami ekonomi berdampak sistemik bagi keuangan Bali karena aset secara
kumulatif mencapai 13 triliun rupiah bila menghadapi masalah khas lembaga keuangan
seperti kesulitan likuiditas dan lain-lain. Inilah menjadi kewaspadaan kita karena
varian kualifikasi struktur keuangan dan juga varian kualitas sumber daya manusia
pemahaman entitas keuangan di berbagai LPD.
Berbagai persoalan muncul akhir-akhir
ini, meski tidak begitu banyak, seperti adanya pengurus LPD yang kena kasus pidana
akibat kecurangan atau hal-hal yang menjurus fraud dan kesalahan administratif mengakibatkan kredit macet yang
berujung pada kepercayaan yang meluntur. Awig-awig
dan Pararem Desa Pakraman seharusnya mempunyai
peran strategis dalam melindungi LPD dengan bobot substansinya mengandung pengendalian
risiko berkelanjutan. Patut disadari, bahaya risiko usaha LPD tersebut nampaknya
merupakan ciri dari risiko bawaan yang bisa menimpa semua organisasi tanpa kecuali.
Risiko bawaan ini bisa berkurang bila ada pengawasan yang kuat dan sikap etis dan
taat pimpinannya.
LPD sebagai entitas budaya tetap dalam
lingkup inklusi keuangan menurunkan angka kemiskinan, memberantas ijon, dan memberikan
akses pemodalan bagi usaha kecil. Inklusi keuangan ini langsung maupun tidak langsung
menjadi penyangga adat dan budaya Bali yang dijiwai oleh agama Hindu, sehingga bukan
sesuatu yang berlebihan LPD ke depan dapat menjadi menjadi sebuah subsistem ekonomi
Hindu dari sistem ekonomi dan keuangan Hindu secara holisitik.
Keuangan Adat yang
Dijiwai Agama Hindu
Keunikan LPD ada pada aspek kepemilikan dan proses
pengambilan keputusan. Kepemilikan bukan oleh orang perorangan dan pengambilan keputusan
tidak berdasarkan saham kepemilikan. Organisasi ini mengintegrasikan suatu specific society culture dan manajemen unik
melalui nilai-nilai komunikasi dan secara jelas menampilkan sosok bangunan informasi
dan aktivitas-aktivitas budaya yang mengandung unsur keyakinan dan karma. Tradisi
spiritual dan budaya mempunyai manfaat dalam dalam industri keuangan mikro karena
mereka bersentuhan langsung dengan pelanggan (Ahtha dan Hannan, 2014). Harga,
kualitas, risiko dan pelayanan seharusnya berdasarkan nilai-nilai agama yang tersurat
dalam sastra-sastra agama yang diyakini kebenarannya. Karenaitu, sepanjang kepemilikan
tetap dimiliki oleh Desa Pakraman, LPD akan ajek dengan roh dan keunikannya. Kepemilikan
akan menjadikan hak kontrol ada pada masing-masing adat, dengan hak suara mutlak
oleh komunitas adat dan modal
sosial ini tak bisa diukur oleh ukuran-ukuran konvensional.
Adat dan
agama di dalam masyarakat hukum adat Bali menjadi satu kesatuan, disebabkan adat
itu sendiri bersumber dari ajaran agama Hindu. Pelaksanaan agama dapat dijalankan
melalui etika, susila, dan upacara. Ketiga hal inilah seharusnya digunakan sebagai
norma standar yang mengatur kehidupan roda organisasi LPD. Etika, susila, dan upacara
yang dicerminkan dalam kehidupannya sehari-hari mencerminkan rasa kepatutan dan
keseimbangan (harmoni) dalam operasional LPD. Oleh karenanya asas hukum adat
Bali yang melingkupi LPD adalah kepatutan dan keseimbangan.
Budaya melekat pada gaya hidup seseorang berkaitan dengan risiko
yang dihadapi termasuk risiko dan tanggung jawabnya dalam suatu organisasi.
Budaya akan membantu seseorang atau sekelompok orang untuk memahami risiko dan memberikan
sumbangan kolektif terhadap permasalahan yang dihadapi oleh suatu organisasi. Nilai-nilai
itu menjadi way of life LPD.
Penelitian yang saya lakukan tahun 2015 menunjukkan bahwa pengurus
LPD yang menginternalisasi nilai-nilai Tri Hita Karana dan Catur Purusha Artha menghasilkan
risiko usaha yang lebih rendah dibandingkan dengan tanpa kedua nilai budaya tersebut.
Meskipun penelitian ini bukan merupakan suatu teknik yang dimanipulasi dalam konteks
kausalitas murni, tetapi bila pengurus LPD membaca dan menghayati nilai-nilai
Tri Hita Karana dan Catur Purusha Artha maka akan terjadi penguatan dalam menjalankan
usaha LPD. Hasil ini sejalan dengan penelitian Thomson, et al (1990) tentang teori risiko yang mengindikasikan bahwa individu
berekspektasi terhadap persepsi risiko dan memperkuat komitmennya yang berasal dari
budaya lahiriah yang mereka miliki sebagai way
of life. Dalam kaitan ini LPD mempunyai nilai-nilai pengelolaan sebagai sebuah
manajemen simbolik yang diartikulasikan dalam tutur bahasa paruman, sangkep,
penggunaan Bahasa Bali dalam rapat dan gestur yang bersahabat kegotong-royongan
sagilik-saguluk dalam kehidupan yang
harmonis. Tri Hita Karana adalah nilai harmoni yang merupakan nilai budaya organisasi
dan belief yang bisa menjadi predikor
dalam berperilaku sedangkan Catur Purusha Artha adalah ukuran Tata Kelola LPD
yang mengatur seluruh aspek operasional LPD. Dengan kedua nilai filosofis ini,
Ekonomi Hindu yang dimulai dari sektor pembiayaan (sektor hulu) akan bisa dimodelkan
dalam rantai nilai yang bernlai tambah.
Ruang komunal dalam kehidupan ekonomi Bali sesuungguhnya sudah
terpatri dalam kehidupan sekaa-sekaa dan
menjadi sebuah standar yang bisa diukur. Mereka (termasuk LPD di dalamnya) memiliki
karakter sistem manajemen mandiri dan tata kelola dengan balutan kearifan lokal
yang berkesinambungan. Persoalan-persoalan
ekonomi diselesaikan secara adat dengan tetap mengedepankan nilai-nilai Catur
Purusha Artha (Dharma, Artha, Kama dan Moksa), karena nilai-nilai itulah yang
menjadi alat penguat dalam mengelola risiko usaha yang menjadi permasalahan terkini
LPD akhir-akhir ini.
LPD menjalankan
usahanya dalam ranah perputaran ekonomi sistem bebanjaran, sehingga
patron efisiensi, kelugasan dalam mengambil keputusan dan pengelolaan risiko usaha
sangat dibutuhkan. Perilaku orang yang memegang akses uang
akan berbeda dengan perilaku orang yang tidak punya akses terhadap uang. Siapa
yang bisa menjamin dana masyarakat aman tanpa adanya ketersediaan suatu sistem
dan prosedur yang mengendalikan dan mengelola risiko.
Revitalisasi cara berpikir
dan konsisten dengan ajaran Catur Purusha Artha dan Tri Hita Karana yaitu LPD
yang baik adalah LPD yang sehat dan unggul dalam artian dia tidak hanya sehat secara
keuangan tetapi memberikan kontribusiyang signifikan pada produktivitas sektor riil
yang selanjutnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan dalam ranah budaya yang
menjadi episentrum Bali.
Tata laksana setidaknya menyangkut aturan tentang sistem
dan prosedur monitoring, siapa yang bertanggung jawab, bagaimana perkawinan bisnis
dengan hukum adat dan tindakan mitigasi bila LPD menghadapi masalah. Kalau ditelisik
secara mendalam, beberapa LPD yang
terindikasi bermasalah akhir-akhir ini, bisa jadi disebabkan oleh informasi
yang tidak simetris yaitu pengurus
merasa punya kuasa dan lupa dana yang ada di tangan adalah “dana panas” dan kewajiban yang harus diselesaikan.
Di lain pihak dia tidak bisa mengelola dana masyarakat dengan cara cerdas dan
memperhitungkan biaya yang timbul. Moral hazard juga muncul karena ada kesempatan, wewenang, dan
merasa tidak ada yang mengawasi. Nilai nilai keagamaan dan spiritual dalam
mengelola usaha seharusnya menjadi aset tak berwujud yang bisa dikapitalisasi.
Politik ekonomi dalam rangka menumbuhkan semangat ekonomi berbasis hukum adat
Bali yang dijiwai oleh agama Hindu serta melindungi kearifan ekonomi lokal (yang sudah terkonfirmasi keberhasilan
dan kemanfaatannya) bisa menjadi warisan bagi generasi yang akan datang.
* Penulis, Guru Besar FEB Unud, Peneliti, Penulis Buku
dan Praktisi LPD, tinggal di Pecatu-Kuta Selatan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar