Sejarawan dari Program Studi Sejarah, Fakultas
Sastra dan Budaya (FSB), Universitas Udayana (Unud), I Nyoman Wijaya menampik
pandangan yang selama ini mengaitkan politik identitas orang Bali dengan zaman
kerajaan lampau. Faktanya, pada zaman kerajaan, orang Bali dipisahkan oleh
negara atau kerajaannya masing-masing. Mengutip pernyataan sejarawan Ida Bagus
Sidemen, Wijaya mengungkapkan, pada masa kerajaan, orang dari Singaraja yang
melakukan perjalanan ke Denpasar harus membawa surat izin masuk. Menggunakan pendekatan
sejarah postrukturalisme, Wijaya menyimpulkan politik identitas orang Bali baru
terbentuk pada zaman Jepang.
Pandangan ini disampaikan Wijaya saat menjadi
pembicara tunggal dalam seminar seri sastra, sosial dan budaya yang digelar
FSB Unud di auditorium Prof. IB Mantra di Kampus Nias, Sanglah, Denpasar,
Jumat (15/1). Wijaya menyajikan materi bertajuk “Mengkritisi Kredibilitas
Temuan Peneliti Asing dalam Soal Politik Identitas Orang Bali”. Seminar yang
dimoderatori filolog dai Program Studi Sastra Indonesia, FSB Unud, IB Jelantik
Sutanegara Pidada itu dihadiri sedikitnya 50 peserta dari kalangan dosen,
mahasiswa dan masyarakat umum.
“Demi
kepentingan perang, Jepang mempersatukan orang-orang Bali
lintas daerah, suku, dan kasta dalam laskar-laskar kemeliteran. Mereka yang
kemudian menjadi pemimpin pejuang revolusi kemerdekaan,” kata Wijaya.
Sejak
tahun 1990-an, kata Wijaya, politik
identitas orang Bali itu berkembang menjadi semangat membela budaya
Bali. Budaya mulai diterjemahkan sebagai ideologi, padahal
menurut Foucault, budaya adalah suatu artikulasi
(peng-adung-an, penyelarasan) dua hal yang sesungguhnya berbeda fungsi menjadi
satu kesatuan secara permanen oleh orang-orang yang diberi kuasa untuk
berbicara atas nama masyarakat.
Menurut Wijaya, pembelaan mati-matian terhadap budaya Bali
adalah sikap setengah hati para peneliti asing, ditengah-tengah ketidakmampuan
peneliti untuk menjelaskan kebijakan pemerintah kolonial Belanda terhadap Bali
pasca pembantaian massal 1906 dan 1908, yakni melarang masuknya Islam-Kristen,
melarang pembukaan industri perkebunan tebu, dan pembangunan rel kereta api.
Dikesankan budaya adalah makhluk suci yang perlu diselamatkan dan dilindungi.
Padahal ketika kembali ke negerinya ternyata sang
residen Belanda di Bali berkata sebaliknya.
“Bukannya
dia tak mau membangun rel kereta, melainkan karena tim ahli mengatakan
topografis tanah Bali yang bergelombang tak memungkinkan untuk itu. Bukannya
tak ingin membangun perkebunan tebu, melainkan takut usaha ini menyedot air
sawah, sehingga akan terjadi gagal panen, dan akhirnya rakyat memberontak.
Bukannya tak ingin memasaukkan agama Katolik, tetapi jika diizinkan
ketakutan orang Bali terhadap dewa dan kala akan lenyap.
Ketika ketakukan hilang, orang-orang Bali akan melawan pemerintah. Inilah
yang belum mau diungkapkan oleh peneliti asing,”
beber Wijaya.
Lebih jauh Wijaya memaparkan perlindungan matian-matian terhadap budaya
menjadikan Bali
penuh dengan larangan, seperti tidak boleh membangun ke atas lebih dari 50
meter. Andaikan benar pura adalah reprensentasi Gunung Mahameru
di Jawa, dan ilmu teknologi sipil di Bali sudah semaju sekarang, maka akan
ditemukan pura bertingkat setinggi ‘gunung’ dan tempat hunian setinggi ‘bukit’. “Laragan-lalarangan
itulah yang mengakibatkan kacau balaunya pembangunan Bali, yang menjadi salah
satu penyebab dari kemacetan lalu lintas yang kontraproduktif dengan
pembangunan industri pariwisata,” kritik Wijaya.
Wijaya
mengupas satu per satu pokok permasalahan studinya, seperti Gerakan
Ajeg Bali, pelaksanaan Panca Wali Krama tahun 1933 dan 1960, pembangunan altar
pemujaan berupa padmasana di Pura Jagat Natha Denpasar tahun
1961, dan pelaksanaan upacara Eka Dasa Rudra di Besakih tahun 1963 dan 1979. Menurut Wijaya, sebagian besar peneliti asing mencari sebab-sebab
kemunculan berbagai peristiwa itu jauh ke masa lampau, padahal masing-masing
punya sebab-sebab terdekat.
Mengenai Gerakan Ajeg Bali yang muncul tahun
2003, kata Wijaya, peneliti asing mencari sebab-sebabnya jauh ke belakang yakni
tahun 1920. Padahal, kata Wijaya, gerakan itu bisa dicari dari sebab-sebab
terdekat. Dengan merujuk pendapat antropolog dan sejarawan muda Bali yang kini
menjadi dosen di Papua, Ngurah Suryawan, Wijaya menyebut hal itu dilatari
kepentingan bisnis.
Berkaitan dengan pelaksanaan Panca Wali Krama
tahun 1933 dan 1960, kata Wijaya, sejatinya dilatari keinginan menyucikan
kembali Pura Besakih setelah adanya penanaman tumbal oleh seorang penganut
aliran kebatinan dari Yogyakarta. Tapi yang diungkap ke publik bahwa upacara
itu digelar karena sudah terlalu lama tidak dilaksanakan. Begitu juga
pembangunan altar padmasana di Pura Jagat Natha, para peneliti asing
menyebutnya atas dorongan Pangdam IX Udayana. Namun, fakta-fakta lain yang
terabaikan menyebutkan pembangunan padmasana itu memunculkan wacana pro-kontra
dalam pesamuhan agung Campuhan 1961. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar