Menu

Mode Gelap
Tunduk Pada Pararem, LPD Kedonganan Terapkan Laporan Keuangan Adat Bebantenan, Cara Manusia Bali Menjaga Alam Semesta SMAN 1 Ubud dan SMAN 2 Semarapura Juarai Lomba Bulan Bahasa Bali di UPMI Bali Bulan Bahasa Bali VI Jalan Terus, Tapi di Hari Coblosan “Prai” Sejenak Konservasi Pemikiran dan Budaya Melalui Gerakan Literasi Akar Rumput

Bali Tradisi · 31 Des 2015 01:27 WITA ·

Tenganan Pagringsingan Punya Tahun Baru Sendiri, Begini Perayaannya


					Tenganan Pagringsingan Punya Tahun Baru Sendiri, Begini Perayaannya Perbesar

Hari ini, Kamis (31/12), umat manusia di seantero jagat kembali luluh dalam tradisi yang sudah berlangsung lebih dari dua ribuan tahun: melepas tahun 2015, menyambut tahun 2016. Lazimnya menyongsong sebuah pembaruan, perubahan, orang-orang menyambut pergantian tahun ini dengan suka cita, bahkan penuh kemeriahan. Interpretasi yang umum tentu saja, penyambutan tahun baru sebagai ikhtiar untuk terus-menerus berubah, menuju hari esok yang lebih baik. Tahun baru selalu dijemput dengan pengharapan, mimpi-mimpi.
Orang Bali baru akan merayakan pergantian tahunnya pada 9 Maret 2016 mendatang bertepatan dengan penanggal apisan Sasih Kadasa (hari pertama bulan ke sepuluh). Masyarakat Bali memang menggunakan sistem penanggalan Saka yang menandai tahun baru pada Sasih Kadasa.

Warga Tenganan Pagringsingan dalam suatu upacara adat. 
Namun, Desa Adat Tenganan Pegringsingan, desa Bali Aga di Bali Timur, memiliki momentum tahun baru tersendiri yang berbeda dengan tahun baru Masehi dan tahun baru Saka. Berdasarkan sistem tarikh (perhitungan tahun) yang digunakan di desa ini sejak ratusan tahun silam, tahun baru dirayakan saban penanggal apisan Sasih Kasa (hari pertama bulan pertama). Biasanya, tahun baru menurut kalender Tenganan Pagringsingan jatuh sekitar pertengahan Januari. 
Tenganan Pegringsingan memiliki tarikh sendiri, memang. Jumlah bulan dalam setahun di Tenganan memang sama dengan tarikh Masehi dan tarikh Saka yakni sama-sama 12. Nama-nama bulannya pun sama dengan nama-nama bulan yang digunakan di Bali yakni mulai dari Kasa dan berakhir pada Sadda. Di Tenganan juga digunakan istilah purnama dan tilem.
Hanya saja, jumlah hari pada masing-masing bulannya berbeda. Jika di kalangan masyarakat Bali umumnya satu bulan berumur 35 hari, di Tenganan selama 30 hari, sama dengan tarikh Masehi. Namun, di Tenganan dikenal siklus tiga tahunan. Tahun I yang disebut Sambah Biasa, masing-masing bulan sama-sama berumur 30 hari. Namun, di tahun II yang juga disebut Sambah Biasa, ada pengurangan jumlah hari pada Sasih Desta dan Sadda yakni masing-masing menjadi 26 hari. Sementara di tahun III yang disebut Sambah Muran ada penambahan sasih yakni Sasih Kapat Sep dengan umur 27 hari. Sementara Sasih Desta dan Sadda umurnya bertambah menjadi 28 hari.
Karena itu, meski nama-nama bulannya sama dengan di Bali pada umumnya, permulaan masing-masing sasih di Tenganan tidaklah sama. Ini pula yang membuat pergantian tahun di Tenganan tidak sama dengan di Bali yang memilih pada Sasih Kadasa.
Pergantian tahun di Tenganan hampir-hampir mirip dengan tarikh Masehi. Hanya saja, karena adanya siklus tiga tahunan itu, waktu tepat pergantian tahun agak bergeser.

“Nyepi Kasa”

Jika masyarakat Hindu di Bali mengisi tahun baru Saka dengan pelaksanaan penyepian, di Tenganan Pegringsingan juga ada tradisi serupa. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Nyepi Kasa yang dilaksanakan selama 15 hari mulai penanggal apisan Sasih Kasa hingga Purnama. Nyepi Kasa ini ditandai dengan larangan mengerjakan hal-hal yang bisa menimbulkan suara atau ribut-ribut. Di antaranya, tidak boleh membuat bangbang (lobang), tidak boleh memahat kayu, tidak boleh menancapkan paku di kayu, tidak boleh menyaurakan besi, gong dan sejenisnya. Begitu juga memotong tidak boleh memotong sesuatu yang bisa mengeluarkan darah. Pantangan ini hanya berlaku di wilayah pekarangan desa yang telah dibatasi oleh awangan. Kalau keluar rumah dibolehkan.

Puncaknya pada Purnama Kasa dilaksanakan ritual yang disebut Usaba Kasa yang berpusat di Bale Agung. Di sini krama desa membuat bubur. Saat itu, warga tidak boleh melintas di jaba Bale Agung, kecuali kramadesa atau prajuru. Ini semacam simbolis mulainya kehidupan baru.
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI
Artikel ini telah dibaca 75 kali

badge-check

Redaksi

Baca Lainnya

Ini Kegiatan Penutup Brata Siwaratri yang Sering Dilupakan

23 Januari 2020 - 12:42 WITA

Nyepi Segara, Ucap Syukur Atas Karunia Dewa Baruna

26 Oktober 2018 - 15:06 WITA

Ngusaba Nini, Krama Desa Pakraman Kusamba “Mapeed” Empat Hari

25 Oktober 2018 - 15:03 WITA

“Pamendeman” Ratu Bagus Tutup Puncak “Karya Mamungkah” Pura Puseh-Bale Agung Kusamba

4 April 2018 - 10:18 WITA

“Purnama Kadasa”, Petani Tista Buleleng “Nyepi Abian”

31 Maret 2018 - 14:39 WITA

Cerminan Rasa Cemas Bernama Ogoh-ogoh

14 Maret 2018 - 19:12 WITA

Trending di Bali Tradisi