Tradisi Siat Tipat (Perang Ketupat) tak hanya ditemukan di
Desa Kapal, Kecamatan Mengwi, Badung, tetapi juga di Desa Adat Padang Luwih,
Dalung, Kuta Utara, Badung. Tradisi dalam bentuk saling lempar ketupat dan jajan
bantal ini dilaksanakan bertepatan dengan Purnama
Kapat, Senin (28/9).
Bendesa Adat Padang Luwih, I Gusti Ketut Suparta,
menuturkan, tradisi tahunan ini melibatkan ratusan kepala keluarga di Desa
Padang Luwih. Tradisi ini sebagai bentuk syukur atas melimpahnya hasil panen.
“Dulu, masyarakat Padang Luwih dominan menjadi petani, panen
selalu melimpah. Karenanya sebagai bentuk syukur dan terima kasih, digelarlah
perang ketupat ini dan berlanjut hingga saat ini,” jelasnya.
![]() |
Suasana Siat Tipat di Padang Luwih (balisaja.com/istimewa) |
Tradisi perang ketupat, lanjut Gusti Suparta, diawali
persembahyangan bersama di Pura Desa Adat Padang Luwih. Setelah itu, para
peserta perang ketupat akan makan
bersama. “Sebelumnya ada kegiatan makan bersama dan sembahyang bersama. Ini
ditujukan untuk Sang Hyang Rare Angon,” jelasnya.
Setelah sembahyang dan makan bersama, warga yang turut dalam
tradisi tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yakni di sebelah utara dan
sebelah selatan pura desa. “Pembagian
kelompok ini berdasarkan letak banjar masing-masing. Setelah dibagi dua
kelompok, mereka saling lempar ketupat layaknya perang,” terangnya.
Dijelaskan Suparta, enam banjar adat yang terlibat dalam ritual
perang ketupat adalah Banjar Tegal Jaya, Banjar Celuk, Banjar Jeroan, Banjar
Pendem, Banjar Gaji dan Banjar Kuanji. Banjar tersebut terdiri dari 530 KK
dengan jumlah warga 2.433 jiwa. Menurut Suparta, warga yang dominan ikut dalam
perang tersebut adalah kalangan pemuda, sementara prajuru desa hanya mengawasi saja.
Meski hanya berlangsung sebentar, namun warga terlihat
sumringah. Usai perang ketupat, warga langsung membubarkan diri. Akses jalan di
sekitar Pura Desa Adat Padang Luwih juga sempat dialihkan sementara terkait
pelaksanaan ritual tersebut.
Tradisi “Perang Tipat” di Desa Padangluwih, Dalung, Kuta
Utara berakar pada sebuah mitos atau cerita rakyat yang berkembang di desa itu.
I Nyoman Gede Riantha dalam skripsinya di Universitas Hindu Indonesia (Unhi)
tahun 1986 berjudul “Perang Ketipat di Pura Desa Adat Padang Luwih Ditinjau
dari Segi Pendidikan Agama Hindu”, menulis tradisi “Perang Tipat” yang juga
dikenal dengan sebutan Timpug
Tipat-Bantal berkaitan dengan kisah Rare Angon.
Diceritakan, di masa lalu warga Padang Luwih sempat
mengalami paceklik dan masa yang sangat sulit. Tanaman di sawah tiada berbuah
dan binatang piaraan tidak pernah berhasil.
Akhirnya warga menyepakati untuk bersembahyang ke Pura Desa
pada Purnama Kapat guna memohon keselamatan tanaman di sawah dan binatang
piaraan. Ternyata, di Pura Desa terlihat dua orang sedang bersenggama. Ketika
ditanya, orang itu menjawab, “Aku adalah Dewa Rare Angon yang akan memberikan
keselamatan bagi binatang piaraan”. Sementara yang wanita berujar, “Aku adalah
Dewi Hyang Nini Bhagawati yang akan memberikan keselamatan terhadap
tanaman di sawah”. Selesai berucap,
kedua orang itu pun menghilang.
Ajaib, memang. Sesudahnya tanaman dan binatang piaraan warga
menjadi berhasil baik. Untuk mengenang kejadian itulah tiap Purnama Kapat
dilaksanakan ngusaba disertai dengan
ritual Timpug Tipat-Bantal. Tipat merupakan simbol Dewa Rare Angon
dan bantal merupakan simbol Dewi
Hyang Nini Bhagawati. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar