Banyak karya sastra karya pengarang Bali, baik dalam bentuk
sastra Bali modern maupun sastra Indonesia modern, yang memuliakan profesi
guru. Hanya memang, citra guru dalam karya sastra Bali modern (SBM) cenderung digambarkan
idealis, tekun, dan perhatian pada anak didik. Sebaliknya, dalam sastra
Indonesia modern (SIM), guru cenderung dicitrakan sebagai sosok yang dinamis
mengikuti perkembangan zaman secara realistis.
Hal ini dikemukakan guru yang juga peneliti sastra, I Nyoman
Tingkat saat ujian promosi doktor di Program Pascasarjana Universitas Udayana
(Unud), Rabu (24/6). Tingkat yang menyajikan disertasi berjudul
“Representasi Citra Guru dalam Cerpen dan Novel Karya Pengarang Bali”
dinyatakan lulus dengan predikat Sangat Memuaskan. Kepala SMA 1 Kuta Selatan
itu menjadi Doktor ke-100 di Program Studi Linguistik dan Doktor ke-460 di
Program Pascasarjana Unud.
Tingkat menjelaskan, dalam SBM, tokoh guru digambarkan
sebagai wujud perpaduan ideal antara konsep catur guru dalam kebudayaan Bali
dan ajaran Ki Hajar Dewantara. Para tokoh guru direpresentasikan sebagai sosok
yang berada di garda depan dalam membangun Indonesia Raya.
Dalam cerpen dalam novel SIM, tergambar tipologi guru yang
menunjukkan perubahan sikap terhadap profesinya dan perubahan pandangan
masyarakat terhadap profesi guru. Wacana tentang guru dipahami sebagai arena
pertarungan sosial yang diartikulasikan melalui bahasa. “Pertarungan itu
membuat profesi guru terombang-ambing sehingga citra kebimbangan tidak
terhindarkan antara memegang prinsip idealism keguruan dan meleburkan diri
dalam pandangan pragmatis dan materialistik,” kata Tingkat.
Selain itu, pendidik kelahiran 7 Oktober 1966 ini
mengungkapkan pengarang Bali menunjukkan semangat memahkotakan budaya Bali
melalui tokoh guru dengan cara yang berbeda. Pengarang SBM memahkotakan dengan
cara halus dan lembut tanpa goncangan, sebaliknya pengarang SIM memahkotakan
budaya Bali dengan cara terbuka, dinamis, bahkan frontal.
Menurut Tingkat, perbedaan cara pengungkapan itu
dimungkinkan oleh ideologi pengarang SBM yang masih kuat memegang tradisi,
sebagaimana tergambar dalam tata ruang rumah adat tradisional Bali. Halamannya
seakan-akan terbuka dan dapat diamati dari luar secara leluasa tetapi dibatasi
dengan aling-aling. “Sebaliknya,
pengarang SIM tanpa tedeng aling-aling membuka pintu aib kebudayaan Bali
melalui tokoh guru, tanpa menghiraukan dampaknya,” beber Tingkat.
Namun, Tingkat tidak mengungkap apa penyebab perbedaan cara
pandang dan pengungkapan tokoh guru antara karya-karya pengarang SBM dan SIM.
Memang, kata Tingkat, pengarang SBM yang menulis cerpen dan novel dengan tokoh
guru memiliki latar belakang guru, sedangkan pengarang SIM yang menulis cerpen
dan novel dengan tokoh guru berasal dari latar belakang bukan guru. Tapi,
Tingkat tidak menjawab tegas sejauh mana latar belakang pengarang sebagai
faktor penyebab perbedaan cara pandang dan pengungkapan tokoh guru dalam SBM
dan SIM.
Salah seorang penyanggah dari Universitas Pendidikan Ganesha
(Undiksha), I Gede Artawan mengapresiasi upaya Tingkat yang memuliakan guru
dengan mengkaji karya sastra yang mengangkat tokoh guru dengan segala
dinamikanya. “Kalau ada ungkapan jeruk minum jeruk, menurut saya Nyoman Tingkat
sebagai guru yang memuliakan guru,” kata Artawan.
Karya-karya pengarang Bali yang diteliti Tingkat, di antaranya Gde
Srawana, Djelantik Santha, Bawa Samar Gantang, I Nyoman Manda, Agung Wiyat S.
Ardhi, I Made Sugianto (SBM) serta Putu Wijaya dan Gde Aryantha Soethama (SIM).
Ketika ditanya mana di antara karya yang diteliti sebagai karya terbaik,
Tingkat menyebut “Mlancaran Ka Sasak” karya Gde Srawana. “Pesan didaktis karya
ini sangat kuat. Dari segi cara pengungkapan, pada masanya, karya ini sebuah
pencapaian yang pantas diapresiasi,” tandas Tingkat. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar