Orang Bali senantiasa diingatkan betapa mereka berutang besar kepada alam. Dalam keyakinan orang Bali, alam itu ibarat orangtua yang tiada henti menyayangi manusia, tiada putus memberi bagi kelangsungan hidup manusia. Di Bali, bumi itu disebut ibu, angkasa raya itu disebut bapak. Tak ada yang lebih setia mengasihi selain ibu, tak ada yang lebih teguh menjaga daripada seorang bapak.
Karena berutang, orang Bali juga dididik untuk ingat mengembalikan. Persembahan sesaji dalam ritual dimaknai orang Bali sebagai bentuk simbolik mengembalikan pemberian alam. Itu sebabnya, isi persembahan orang Bali sepenuhnya diambil dari alam.
Hari ini, Jumat (203), sehari menjelang Nyepi, orang Bali melaksanakan ritual tawur kasanga. Upacara ini dilaksanakan berjenjang: di tingkat nasional, provinsi, kabupaten, kecamatan, desa, banjar hingga ke masing-masing rumah tangga. Upacara tawur kasanga di tingkat nasional, provinsi, kabupaten hingga kecamatan biasanya disebut tawur agung kasanga dan dilaksanakan sekitar pukul 12.00. Di tingkat desa, banjar dan rumah tangga biasanya dilaksanakan petang, sekitar pukul 18.00. Upacara ini biasanya digelar di catus pata (persimpangan utama) di masing-masing daerah atau desa.
(Baca: Merawat Bumi dengan Nyepi)
(Baca: Merawat Bumi dengan Nyepi)
Upacara tawur juga sebagai perlambang ketulusan orang Bali membayar utang kepada alam. Kata tawur, dalam bahasa Bali, berarti ‘mengembalikan’. Selama ini manusia sudah mengambil banyak dari alam, hari ini manusia Bali mengembalikan untuk alam.
Menurut Ketua Bidang Lintas Iman PHDI Pusat, I Ketut Wiana, upacara tawur kasanga termasuk dalam jenis upacara bhuta yadnya. Upacara ini, kata Wiana, bertujuan menjaga keseimbangan alam.
“Selama ini alam telah menyejahterakan manusia, melalui tawur, manusia menyejahterakan alam,” kata Wiana.
Dosen Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar, I Made Wiradnyana menambahkan, ritual, termasuk tawur kasanga merupakan simbolisasi dari upaya merawat alam secara nyata. Umat Hindu, orang Bali, mesti mewujudnyatakan tawur itu dalam laku sehari-hari.
“Beragama itu sejatinya bagaimana kita berperilaku yang baik, anut dengan etika dan moral serta harmonis dengan alam. Ritual itu momentum untuk menyegarkan kesadaran kita sekaligus sebagai refleksi diri,” kata Wiana.
(Baca: “Caru”, Menjaga Harmoni Manusia dan Alam)
(Baca: “Caru”, Menjaga Harmoni Manusia dan Alam)
Tawur yang sesungguhnya, menurut Wiana dan Wiradnyana, membiasakan diri menjaga kebersihan lingkungan, tidak membuang sampah sembarangan, menangani limbah dengan baik, tidak menebang pohon sembarangan, menhijaukan lahan yang gundul, menjaga kelancaran saluran-saluran air, serta menjaga aliran sungai, danau dan laut. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI