Krisis air bukan hanya hadir di
depan pintu, tetapi sudah masuk ke dalam kenyataan hidup orang Bali, kini. Di
tengah kemajuan pesat secara ekonomi, tak sedikit daerah di Bali yang susah
mendapatkan air bersih untuk menopang kehidupan sehari-hari. Bahkan, krisis air
itu juga dialami masyarakat di sentra industri wisata, semacam Badung Selatan.
Hingga kini, masyarakat Ungasan, Pecatu, Kutuh dan sekitarnya masih harus
berjuang mendapatkan jatah air bersih. Di daerah Bali Timur maupun Bali Utara,
cerita krisis air sudah sejak lama menghiasi media-media massa di Bali.
Kejadian ini sebetulnya pertanda
alam Bali sedang dilanda ketidakseimbangan. Sesuatu yang sesungguhnya amat
ironis, karena tradisi Bali begitu kental dengan pesan-pesan universal tentang
menjaga lingkungan, termasuk merawat sumber-sumber air.
(Baca: Melasti dan Bayang-bayang Krisis Air Bali)
(Baca: Melasti dan Bayang-bayang Krisis Air Bali)
Tradisi melasti yang dilaksanakan
tiga hari menjelang hari Nyepi, misalnya, amat kuat dengan pesan merawat
sumber-sumber air. Tradisi yang diwujudkan dengan prosesi umat mengarus menuju
sumber-sumber air, seperti danau, laut dan bulakan,
memiliki makna jaga lingkungan yang dalam.
Memang, secara filosofis melasti merupakan sebuah ritual
penyucian bhuwana alit dan bhuwana agung menjelang pergantian tahun
Saka. Namun, melasti senyatanya sebuah evaluasi tahunan Bali terhadap
sumber-sumber air. Melasti berasal
dari kata lasti. Lasti berarti ‘tepi’. Melasti
berarti ‘menuju ke tepi’: tepi laut, tepi danau, tepi sumber-sumber mata air.
Dari sinilah kemudian muncul
pemaknaan melasti sebagai perjalanan
menuju air, prosesi yang mengingatkan manusia untuk senantiasa merawat
sumber-sumber air. Ini merupakan sebuah ritual yang kental semangat kehidupan
agraris yang begitu berkepentingan menjaga sumber-sumber air.
Karenanya, dalam tradisi Bali,
air mendapat posisi amat penting. Tradisi Bali memuliakan betul sumber-sumber
mata air semacam laut, sungai, klebutan, danau dan lainnya.
Karenanya, melasti merupakan momentum untuk mengingatkan manusia Bali tentang
betapa pentingnya air itu bagi kehidupan. Untuk itulah, sumber-sumber air mesti
dirawat, mesti dijaga, mesti dipelihara sepenuh dan setulus hati demi
kelangsungan hidup dan kehidupan.
Bila sumber air mengering, itu
artinya ada ketidakharmonisan dalam ekosistem hutan. Air akan tetap mengalir
bila hutan-hutan terjaga keutuhannya, bukit dan gunung terjaga kelestariannya.
Karena itulah, jika pada Sasih Kasanga orang
Bali diingatkan untuk mengarus menuju ke pusat-pusat air, pada Sasih Kadasa orang Bali diingatkan untuk
mengarus menuju ke gunung, ke pusat kesejehteraan hidup. Saat itulah digelar
Karya Batara Turun Kabeh di Pura Besakih.
Karena itu, melasti
yang dilaksanakan manusia Bali secara serentak pada Rabu (18/3) hari ini --sebagian lagi ada yang melaksanakan melasti pada Selasa (17/3) dan sebagian lagi pada Kamis (19/3)-- seyogyanya tak semata dimaknai sebagai ritual simbolik penyucian bhuwana agung
dan bhuwana alit apalagi sebatas penyucian pratima. Namun, melasti juga patut dimaknai lebih realis-kontekstual
sebagai mementum untuk mengingat kembali, mengontrol dan merawat sumber-sumber
air Bali. Bila makin banyak pantai dikapling
hotel dan investor, bila makin banyak danau diserbu vila dan restoran, sehingga
ruang melasti menjadi kian sulit didapat, itu berarti ada kekeliruan dalam
mengelola sumber-sumber air. Bila daerah-daerah hilir mulai kesulitan mendapatkan air bersih, itu pula pertanda sumber-sumber air makin terkikis. Dampaknya pun sudah bisa kita rasakan, Bali
semakin kerap dilanda krisis air. Itulah kini, semakin hari semakin jelas
dihadapi Bali. (b.)
Teks dan Foto: I Made Sujaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar