Ketika Bali terbelah antara pilihan mendaftarkan desa adat atau desa dinas, Sumatera Barat malah belajar ke Bali untuk memantapkan pilihan mereka mendaftarkan desa adat menyikapi berlakunya UU No. 6/2014 tentang Desa. Rabu (11/3), Tim Perumus Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) UU Desa DPRD Sumatra Barat mengunjungi Desa Adat Kedonganan, Kecamatan Kuta, Badung, untuk melihat dari dekat denyut aktivitas kegiatan masyarakat adat Bali. Mereka diterima prajuruDesa Adat Kedonganan di Gedung LPD Desa Adat Kedonganan.
Pertemuan antara prajuru Desa Adat Kedonganan dan rombongan DPRD Sumatera Barat |
Ketua rombongan DPRD Sumbar, H. Aristo Munandar menyatakan kedatangan mereka ke Bali ingin mencari perbandingan seputar pilihan pengakuan desa adat atau desa dinas terkait dengan diberlakukannya UU Desa. Menurut Aristo, Bali dan Sumatra Barat memiliki kemiripan dalam pengelolaan sistem adat yang diwariskan secara turun-menurun.
“Kami di Sumbar tengah mewacanakan kembali menata sistem adat ini karena ada peluang dengan diterbitkannya UU,” kata Aristo yang pernah menjadi kandidat Gubernur Sumbar ini.
Dijelakan Aristo, masyarakat Sumbar kini sedang menimbang antara pilihan desa adat atau desa dinas. Di kalangan elite, kata Aristo, lebih condong memilih desa adat, sedangkan di tatanan bawah memilih desa dinas. “Kami sebenarnya ingin meniru Bali, apa pilihan masyarakat Bali. Kalau saya lebih condong memilih desa adat,“ jelas mantan Bupati Agam ini.
Aristo memiliki alasan kuat memilih desa adat. Menurut Aristo, adat di Sumbar sudah tertata dengan baik, sama seperti Bali. “Struktur adat lengkap, pengurusnya lengkap dan fungsi adat dalam menjaga budaya dan tradisinya juga masih sangat relevan,” tambah Arsito seraya menyebutkan Bali, Sumbar dan Aceh benar-benar masih kental dengan tradisinya masing -masing.
Tokoh Kedonganan yang juga Ketua LPD Kedonganan, I Ketut Madra sepakat dengan Aristo mengenai kesamaan Bali dan Sumbar dalam pengelolaan adat. Namun, situasi di Sumbar terbalik dengan Bali. Di Bali, kata Madra, justru arus bawah berkeinginan adat tetap dipertahankan, sebaliknya di kalangan elite, para bupati dan walikota masih bingung.
“Namun, ada beberapa bupati sudah menyatakan sikap tegas ingin mendaftarkan desa adat,” kata Madra yang juga prajuru Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Provinsi Bali.
Menurut Madra, struktur adat tidak jauh beda dengan Sumbar. Bahkan, Bali justru pernah belajar ke Sumbar mengenai lembaga keuangan milik komunitas adat, yakni Lumbung Pitih Nagari (LPN). Di Bali, konsep LPN dikembangkan menjadi LPD.
“Itu artinya, antara Bali dan Sumbar tidak ada masalah dengan desa adat. Lembaganya masih ada, struktur dan fungsinya masih berjalan dan hubungan dengan pemerintah harmonis. Karena itu, hal semacam ini harus dipertahankan dan diperkuat,” tandas Madra. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI