Kasus bunuh
diri di Bali seolah menjadi berita biasa lima tahun terakhir. Saking seringnya
terbetik kasus mengakhiri hidup dengan cara tak wajar, masyarakat seperti tak
lagi terkejut manakala media massa memuat berita semacam itu. Media massa pun
tak lagi menempatkan peristiwa bunuh diri sebagai berita utama.
Namun, akhir pekan ini berita bunuh diri kembali
menyentakkan publik di Bali. Sebabnya, pelaku bunuh diri tiada lain seorang
politisi yang pernah menduduki lapisan atas elite politik di Kota Denpasar.
Mantan Ketua DPRD Kota Denpasar serta mantan Ketua DPD PDI Perjuangan Kota
Denpasar, I Wayan Darsa ditemukan meninggal gantung diri di rumahnya, Januari lalu.
![]() |
Orang Bali ngorta saat kegiatan adat |
Kasus bunuh diri di Bali ini tidak saja mengundang
keprihatinan, tetapi juga rasa cemas. Sebetulnya, jumlah kasus percobaan bunuh
diri di Bali tiga tahun terakhir sudah semakin menurun. Jika pada tahun 2004,
jumlah kasus bunuh diri di Bali melampaui 120 kasus, tahun 2014 sudah menurun
hampir 50%.
Fenomena bunuh diri di Bali, menurut dokter spesialis kejiwaan
RS Sanglah dr. Wayan Westa, Sp.KJ (K) umumnya disebabkan oleh depresi. Depresi
merupakan gangguan mental yang diakibatkan oleh kesedihan yang mendalam.
Penyebab depresi sendiri multifaktorial, bisa dialami oleh masyarakat kaum
menengah ke bawah maupun kaum menengah ke atas. Penyebab depresi ada dua, yaitu
yang bersifat endogen artinya depresi karena bakat dari orang tuanya dan
depresi eksogen, di mana penyebabnya berasal dari luar manusia itu misalnya
pengalaman hidup yang terlalu berat, masalah ekonomi, masalah keluarga dan juga
bisa disebabkan oleh kurangnya pemahaman dan ketaatan pada agama atau
keperceyaannya.
Tim psikiatri RS Sanglah juga pernah menerbitkan buku
berjudul Fase-fase Kritis Sebelum
Percobaan Bunuh Diri di Bali Studi Kasus tahun 2006. Dalam buku itu
terungkap sejumlah alasan korban bunuh diri. Tiga ahli jiwa, Prof. dr. A.A.Gde
Muninjaya, dr Yessi Crosita Octaria, dan dr Lely Setyawati memaparkan persoalan
yang melatarbelakangi perilaku bunuh diri selama tahun 2001 sampai 2005 adalah
sakit (33,9 persen), alasan lain yang tidak spesifik (20,96 persen), masalah
keluarga (15,06 persen), stress (14,85 persen), masalah ekonomi (10,26 persen),
dan putus cinta (5,68 persen). Ditinjau dari stress psikososial yang dialami
pelaku percobaan bunuh diri adalah masalah interpersonal (35,57 persen),
masalah keluarga (15,38 persen) dan masalah perkawinan (14,42 persen).
Kenyataan ini tak pelak membuat
banyak kalangan bertanya-tanya apa yang sesungguhnya sedang terjadi pada
manusia Bali sehingga begitu gampang memilih jalan pintas mengakhiri hidup?
Padahal, teks-teks susastra Bali yang notabene didasarkan kepada ajaran Hindu,
amat jelas menyebut tiada diberkati jika memilih mati dengan jalan bunuh diri
sehingga dikenal dengan istilah ulah pati (mati tak wajar).
Kultur Bali sendiri sejatinya
telah mengajarkan banyak hal dalam soal ini. Bagaimana orang-orang Bali dulu
dibiasakan diri untuk ngorta (ngobrol)
dengan tetangga saat duduk-duduk di bale banjar, bagaimana pula orang Bali
dibiasakan untuk melakoni hidup berkesenian yang sesungguhnya untuk menyalurkan
energinya sendiri dan banyak lagi perilaku lain yang membuat orang Bali begitu
dekat yang lain sehingga bisa saling merasakan, saling berbagi.
Di era peradaban modern kini pun,
generasi Bali kini mengenal adanya perilaku curhat (curah hati) atau pun sharing (berbagi) yang sesungguhnya tak
jauh beda dengan perilaku ngorta.
Karena memang, cara pertama untuk menyelesaikan masalah adalah menceritakannya
kepada orang lain. Ngorta membuat orang yang sedang menghadapi masalah tidak merasa sendirian.
Bila demikian, lantas mengapa
mesti bunuh diri? Sikap hidup yang dihargai dalam zaman ini bukanlah lagi
berani mati, tetapi berani hidup! * Putu Jagadhita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar