Kebudayaan Bali yang diwarisi kini tak semata lahir dari rahim peradaban asli Bali, tetapi juga hasil interaksi kreatif dengan berbagai kebudayaan luar. Ada dua kebudayaan luar yang memberi pengaruh signifikan dalam kebudayaan Bali, yaitu India dan Cina. Namun, kebudayaan Cina tampak memiliki tempat istimewa bagi Bali. Orang Bali pun biasa menyebut Cina yang bermukim di Bali sebagai nyama kelihan (saudara tua).
Hubungan Bali dengan Cina sudah terjalin sejak lama, sama halnya hubungan Bali dengan India. Yang menarik, agama Hindu yang berakar pada kebudayaan India lebih kuat menguasai kehidupan religius orang Bali, sementara kebudayaan Cina lebih kuat terasa dalam aspek perdagangan serta kebudayaan materi.
“Banyak bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan Bali di masa lalu menjadi pertemuan dua arus kebudayaan yakni India dan Cina,” tandas Guru Besar Arkeologi Unud, I Wayan Ardika.
Bila dicermati, pengaruh budaya dari Negeri Tirai Bambu ini mendapat tempat yang tidak kalah istimewanya karena tidak semata hadir sebagai produk akulturasi budaya dalam fungsi horizontal atau nikmatan seni sesama manusia semata, namun juga bisa turut tampil secara wajar dalam fungsi vertikal pada dimensi spiritual manusia Bali.
Tradisi kesenian serta tinggalan-tinggalan arkeologis Bali amat jelas memberi gambaran mengenai hal ini. Dalam wilayah seni khususnya tari, beberapa contoh yang bisa disebutkan, tari Baris Cina yang masih terpelihara kuat di Renon, Semawang dan daerah-daerah lainnya, tari Barong Landung yang menurut para peneliti merupakan tinggalan tertua karena diperkuat dengan prasasti Balingkang pada awal tahun Masehi tentang pernikahan Raja Jayapangus dan putri Cina, Kang Ching Wie serta tari Barong sendiri yang dimiliki sebagian besar desa-desa adat di Bali. Bahkan, gong barungan yang kini diwarisi di Bali cikal bakalnya diyakini dari Cina yakni berupa gong Beri. Saat ini gong Beri memang masih ada di daerah Renon.
Di wilayah seni sastra, orang Bali sudah mengenal betul cerita Sampik Ing Tai. Cerita yang sangat jelas berasal dari Cina ini terutama sangat terkenal di daerah Buleleng. Kisah cinta I Sampik dan Ing Tai ini sudah diekploitasi ke dalam berbagai bentuk kesenian Bali mulai dari pupuh (tembang puisi tradisional Bali), cerita drama tari arja atau drama gong hingga tema lagu pop Bali yang sekarang sedang semarak.
Tak ketinggalan seni arsitektur Bali juga mengadopsi unsur-unsur Cina dengan munculnya patra(model ukiran) Cina. Model ukiran ini bahkan cukup favorit di kalangan para undagi (arsitek tradisional) Bali selain patraBelanda. Tinggalan material yang paling dikenal tentu pis bolong atau uang kepeng. Pada masa kerajaan dulu, inilah mata uang kartal orang Bali. Bahkan, sejarah mencatat saat itu Bali mengimpor uang kepeng langsung dari Cina. Ketika pis bolong tak lagi diakui sebagai uang kartal oleh pemerintah Republik Indonesia dan ditetapkan uang kartal baru, peran uang kepeng dalam kehidupan masyarakat Bali justru belum bergeser. Yang terjadi, malah pergeseran ke arah fungsi spiritual sebagai sarana upacara termasuk untuk pratima(patung dewa yang dibuat dari uang kepeng).
Orang Bali bahkan merasakan hal itu sebagai budayanya sendiri, bukan budaya dari Cina. ‘’Itu lebih karena sifat orang Bali yang kreatif dan terbuka. Bali melihat Cina sebagai inspirasi peradaban. Inspirasi itu diolah sedemikian rupa disesuaikan dengan unsur dan tradisi Bali sehingga lahirlah sebuah produk budaya yang benar-benar berbeda,’’ kata budayawan Wayan Geria.
Istilah lain untuk menyebut sikap Bali dalam mengadopsi budaya Cina ini, yakni local genius (kecerdasan lokal). Konsep local genius menekankan kepada penerimaan budaya luar secara selektif. Bali memililih mengambil sebanyak-banyaknya unsur positif, sedangkan unsur negatifnya ditekan. (b.)
Teks dan Foto: Sujaya
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI