Boleh jadi karena dimaknai
sebagai hari kemenangan, perayaan Galungan dan Kuningan senantiasa disambut
dengan suka cita. Namun, lontar Sundarigama
(ada juga yang membacanya dengan nama Sunarigama)
yang menjadi rujukan pelaksanaan hari raya Hindu, termasuk Galungan dan
Kuningan, mengingatkan hakikat Galungan bukan sekadar bersuka cita (magirang-girang), tetapi justru refleksi
menuju hidup yang terang-benderang (galang
apadang).
Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Provinsi Bali, IGN Sudiana
dan pendharma wacana I Ketut Wiana
menegaskan esensi perayaan Galungan sebagaimana tercantum dalam lontar Sundarigama, yakni patitis ikang jnana sandi, galang apadang mariakna byaparaning idep.
Maknanya, menempatkan ilmu pengetahuan sebagai sandaran utama pikiran dalam
menyelesaiakan persoalan-persoalan hidup dan kehidupan.
“Penyelesaian atas berbagai
persoalan hidup dan kehidupan ini harus dilandasi oleh ilmu pengetahuan dan dharma,” kata Sudiana.
Selama ini, imbuh Wiana, begitu
banyak persoalan yang membelit manusia Bali. Namun, tumpukan persoalan itu
kerap kali diselesaikan dengan pikiran yang gelap atau kotor sehingga
menimbulkan persoalan baru. Ilmu pengetahuan dan agama tidak dijadikan tumpuan
menyelesaikan persoalan hidup, tetapi lebih pada kepentingan jangka pendek dan
terkadang pragmatis.
“Ilmu pengetahuan seringkali
diselewengkan. Ilmu pengetahuan tidak digunakan untuk menyelesaikan
persoalan-persoalan hidup dan kehidupan, tetapi digunakan untuk merusak alam,
menghancurkan kehidupan,” kata Wiana.
Persoalan hidup dan kehidupan
itu, imbuh Sudiana, begitu kompleks. Mulai dari kerusakan alam, kemiskinan,
keterbelakangan, penyakit, termasuk tekanan kelompok yang berbeda. Galungan
menjadi momentum untuk merefleksi sejauh mana persoalan-persoalan hidup itu
telah bisa diatasi dengan berbekalkan ilmu pengetahuan dan agama yang telah
dipelajari.
“Saat Galungan kita diingatkan
untuk memenangkan pikiran yang terang (widya)
atas pikiran yang gelap (awidya),”
kata Wiana.
Karena itu, baik Sudiana maupun
Wiana menegaskan keliru jika perayaan Galungan disambut dengan hura-hura atau
jor-joran. Menurut Wiana, perayaan Galungan sepantasnya dilakukan dengan penuh
bersahaja. Karena itu, kesederhanaan menjadi hal yang utama.
“Sederhana dan bersahaja, itu
yang paling penting. Kita harus mementingkan fungsi, bukan gengsi. Untuk apa
merayakan Galungan mewah, tetapi kita harus berutang. Justru perayaan sederhana
yang berasal dari kemampuan sesungguhnya itu yang jauh lebih bernilai,” kata
Wiana.
(Baca: Galungan Bukan Momentum Pamer dan Adu Gengsi)
(Baca: Galungan Bukan Momentum Pamer dan Adu Gengsi)
Sudiana menambahkan spirit
perayaan Galungan yang utama sesungguhnya membangun kepedulian terhadap sesama
dan kerukunan. Itu artinya, empati dan simpati terhadap lingkungan sangat
penting dijaga. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar