Teks: I Ketut Jagra
Hari ini, Senin (26/5) atau Soma Kliwon wuku Kuningan ditandai orang Bali sebagai hari Pemacekan Agung. Pada hari ini, selain melaksanakan persembahyangan di masing-masing sanggah/merajan, perhatian orang Bali biasanya tertuju ke Bali Timur, di Desa Gelgel, Klungkung. Di tempat ini, pada hari ini dilaksanakan pujawali di Pura Dasar Bhuana Gelgel.
Pura ini menjadi menarik perhatian karena menjadi salah satu saksi sejarah sekaligus contoh bagaimana persatuan dan kesatuan membuat Bali kukuh, kuat. Di pura yang terletak sekitar tiga kilometer dari pusat kota Semarapura ini kita bisa menapak jejak bersatunya Bali di abad ke-13 silam.
Memang, hingga kini belum ada
sejarah yang benderang benar mengenai keberadaan pura ini. Namun,
peninggalan-peninggalan tua yang ada di pura ini, seperti sejumlah arca yang terbuat dari batu serta lingga-yoni sebagai
lambang kesuburan, mengisyaratkan tempat suci ini sudah berdiri jauh sebelum
agama Hindu masuk ke Indonesia.
Akan tetapi, sejumlah sumber
menyebut pura ini didirikan sebagai peringatan atas kedatangan Mpu Ghana ke
Bali. Menurut Jro Mangku Ktoet Soebandi dalam bukunya, Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali, menyebutkan pura ini
didirikan oleh Mpu Dwijaksara pada sekitar tahun 1189 Saka atau 1267 Masehi.
Awalnya, empat suci ini merupakan
parhyangan Mpu Ghana. Mpu ini datang
ke Bali sekitar 922 Saka atau 1011 Masehi bersama tiga Mpu lainnya yakni Mpu
Sumeru, Mpu Kuturan dan Mpu Gnijaya. Keempat Mpu ini didatangkan khusus oleh
Raja Gunprya Darmapatni/Udayana Warmadewa untuk membantu menyelesaikan masalah
pertikaian antarsekte keagamaan yang ada di Bali.
Nama Pura Dasar Bhuana sendiri konon
diberikan oleh Dhalem Ketut Ngulesir yang sering juga dikenal dengan nama Sri
Semara Kepakisan. Raja ini memerintah di Gelgel pada tahun 1302 Saka atau 1380
Masehi. Kala itu, statusnya dijadikan menjadi pura kerajaan. Dengan status ini,
berarti Pura Dasar Bhuana pada masa itu menjadi simbol dasar jagat atau
landasan persatuan dan kesatuan rakyat Bali.
Memang, di Pura Dasar Bhuana ini
dibangun pelinggih (bangunan suci)
dari tiga warga yakni Ksatrya Dhalem, Pasek dan Pande. Ketiga warga ini
merupakan cerminan kekuatan potensial kepemimpinan di dalam masyarakat Bali
kala itu. Selanjutnya, saat kedatangan Danghyang Nirartha yang kemudian menjadi
purohita kerajaan Gelgel, dibangun pula pelinggih
untuk warga Brahmana Siwa.
Penyatuan caturwarga dalam satu
pemujaan di Pura Dasar Bhuana lebih diperkokoh lagi ketika pemerintahan Dalem
Waturenggong. Penyatuan ini merupakan dasar spirit bagi kelangsungan kehidupan beragama
di wilayah Kerajaan Dalem Waturenggong kala itu. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar