Teks dan Foto: I Made Sujaya
Awal tahun 2014 ini sejumlah daerah di Indonesia ditimpa bencana alam cukup hebat. Jakarta dan Manado diguncang banjir hebat berhari-hari. Gunung Sinabung mengalami erupsi. Tanah longsor menggedor sejumlah daerah lain. Bali juga tak ketinggalan diusik banjir. Sejumlah titik di Denpasar dan Kuta kembali terendam air hujan, meski tidak separah Jakarta dan Menado.
Pemicu bencana itu tiada lain cuaca yang terbilang ekstrem. Hujan turun terlampau lebat dan dalam waktu yang lama. Sebaliknya, kekeringan menghampiri sejumlah tempat lain. Hujan juga tak lagi hadir pada musimnya.
Banjir hebat yang melanda kawasan Kuta pada 26 Desember 2007 |
Para pakar mengidentifikasi hal ini sebagai akibat terjadinya pemanasan global yang memicu perubahan iklim. Musim menjadi tidak tentu dan cuaca terasa begitu ekstrem. Orang tidak lagi bisa menentukan dengan pasti kapan mulai dan berakhirnya musim hujan dan kemarau.
Pemanasan Global merupakan peningkatan suhu rata-rata permukaan bumi akibat peningkatan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) di atmosfer. Pemanasan Global akan diikuti dengan perubahan iklim, seperti meningkatnya curah hujan di beberapa belahan dunia sehingga menimbulkan banjir dan erosi. Sementara di belahan lain bumi ini justru dilanda kekeringan berkepanjangan yang disebabkan peningkatan suhu.
Di kala siang hari, suhu udara juga terasa begitu panas. Pada tahun 2003 misalnya, suhu udara di India sampai mencapai 500C. Sementara di malam hari, suhu tiba-tiba terasa begitu dingin. Kelembapan udara cukup tinggi mencapai 96 persen.
Pemanasan Global dipicu oleh meningkatnya gas karbondioksida di udara. Gas karbondioksida (CO2) ini merupakan gas buang dari berbagai aktivitas manusia di bumi. Mulai dari asap pabrik, kebakaran hutan hingga asap rokok. Sementara hutan-hutan sebagai penyerap gas CO2 semakin berkurang karena ditebangi.
Ciaca ekstrem sebagai dampak perubahan iklim semacam ini sejatinya sudah diramalkan dalam lontar-lontar Bali. Pakar wariga dari Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja, IB Putra Manik Aryana mengungkapkan dalam lontar Purwa Somi Tattwa dan lontar Catur Yugasudah disebutkan keadaan cuaca seperti ini.
“Dalam lontar-lontar itu disebutkan, pada zaman Kali Yuga, tatanan bumi berubah drastis. Cuaca juga ikut tidak menentu. Dalam lontar-lontar itu disebutkan, sasih labuh salah masa (musim atau cuaca tidak jatuh pada masanya), ujan tak manut gati (hujan jatuh tidak pada musimnya), surya mimba mapanes (matahari dan bulan memancarkan cahaya yang panas),” urai Manik Aryana.
Sementara penekun kalender dari Buleleng, I Gede Marayana menyatakan penyimpangan musim ini sebetulnya tidak jauh menyimpang dari sistem pranata masa yang dianut orang Bali juga di Jawa. Tradisi Bali mengenal konsep pengunyan yakni suatu musim tertentu yang memiliki karakter musim yang lain.
“Pembagian dua musim yakni kemarau pada bulan April-September dan musim hujan pada Oktober hingga Maret tetap dijadikan patokan. Hanya saja, pada tiap-tiap sasih (bulan) ada karakter berbeda karena ada faktor-faktor alam yang memengaruhi. Tradisi Bali menyebut ngunya,” kata Marayana.
Misalnya, bulan Januari tahun 2014 ini adalah sasih Kapitu tetapi disebut ngunya (memiliki karakter) Kasanga. Sasih Kapitu ditandai dengan alam yang digambarkan mulai menebarkan dampak buruk bagi manusia. Musim penyakit, banjir dan angin kencang. Namun, para petani akan mulai menanam padi. Matahari berada di garis selatan. Angin kencang berhembus dari barat, tak tentu arah. Sementara Sasih Kasanga ditandai angin kencang bertiup dari selatan. Hujan masih terjadi. Tanaman padi hampir tua dan burung-burung kegirangan. Anjing-anjing akan birahi. Matahari berada pada garis Khatulistiwa.
Menghadapi musim yang berubah itu, para tetua Bali menyikapinya dengan berolah cerdas menyiasati perubahan alam. Para petani Bali di masa lalu biasanya akan menyesuaikan pola tanam dengan melihat pengunyan sasih. Mereka tidak melawan alam, tetapi bersahabat dengan alam sehingga di kemudian hari menjadi pelajaran untuk membaca tanda-tanda alam. (b.)
http://feeds.feedburner.com/balisaja/pHqI