Mengenang Pahlawan Nasional dari Bali
Teks: I Made Sujaya
10 November 2013, masyarakat Indonesia,
termasuk di Bali memperingati Hari Pahlawan. Biasanya, pada Hari Pahlawan
dianugerahkan gelar pahlawan bagi sejumlah pejuang atau tokoh yang dianggap
berjasa bagi Bangsa dan Negara. Bali sudah mencatatkan sejumlah pejuang dan
tokoh sebagai pahlawan nasional. Salah satu tokoh yang menarik untuk dicermati
kepahlawanan dan sepak terjangnya adalah Patih Buleleng, I Gusti Ketut
Jelantik. Seperti apa sosok dan kepahlawanan seorang I Gusti Ketut Jelantik?


“Tidak
akan pernah, demikian kata Gusti Ketut Jelantik dengan penuh kejengkelan sambil
memukul dadanya dengan kepalan tangan, sedang matanya berkilauan karena kemarahannya,
dan dengan berapi-api sekali lagi ditegaskan bahwa selama saya hidup kerajaan
ini tidak akan pernah mengakui kedaulatan Belanda sebagaimana diartikan oleh
Pemerintah Tuan. Sesudah saya meninggal dunia Raja dapat bertindak sesuai
dengan keinginannya. Orang tidak bisa dengan tiba-tiba begitu saja menguasai
negeri orang lain hanya dengan sarana selehai kertas. Hal itu terlebih dahulu
harus diselesaikan oleh ujung keris..”
Demikian
sebuah laporan yang ditulis oleh Komisaris Pemerintah Hindia Belanda, J.F.T.
Mayor yang disampaikan kepada Gubernur Jenderal di Batavia terkait hasil
perundingannya dengan Raja Buleleng dan Patih Gusti Ketut Jelantik terkait
keinginan pihak Belanda agar Raja Buleleng mau meratifikasi kontrak yang telah
ditandatangani pada 8 Mei 1843 mengenai penghapusan hak tawan karang.
Pernyataan
Patih Gusti Ketut Jelantik itu memperlihatkan secara jelas bagaimana sikap
tegas, keberanian dan keperwiraannya sebagai seorang patih, seorang adipati.
Pernyataan Patih Jelantik itu juga menunjukkan bagaimana harga diri orang Bali yang tak bisa diinjak-injak oleh siapa pun.
Penginjak-injakan terhadap harga diri orang Bali
itu harus diselesaikan di ujung senjata.
Kalimat
tegas sekaligus tantangan dari Patih Gusti Ketut Jelantik itu sontak menyedot
perhatian pejabat-pejabat pemerintah Belanda, baim di Batavia (Hindia Belanda)
maupun Den Haag (Negeri Belanda). Pihak Belanda menyebut hal itu sebagai
“Peristiwa Gusti Ketut Jelantik”.
Belanda
menganggap pernyataan Patih Jelantik sebagai suatu penghinaan terbuka terhadap
Pemerintah Belanda. Karena itu, dari semua kalangan timbul desakan keras agar
diambil tindakan militer terhadap Raja Buleleng sebagai suatu pembalasan yang
tepat.
Penentangan
Gusti Ketut Jelantik kemudian tercatat dalam sejarah membuahkan pengiriman
ekspedisi militer Belanda ke Buleleng. Pada ekspedisi militer pertama pada
tahun 1846, Belanda berhasil menduduki Kota Singaraja dan memaksa Raja Buleleng
menandatangani kontrak yang mengakui bahwa Buleleng berada di bawah kekuasaan
Belanda dan menghapus hak tawan karang.
Namun,
kemenangan Belanda itu kemudian dibayar mahal dalam Perang Jagaraga I, 9 Juni
1848. Pada perang tersebut Belanda berhasil dipukul mundur. Kemenangan laskar
Buleleng ini bahkan membuat geger Negeri Belanda. Baru pada ekspedisi militer
kedua Buleleng berhasil dikuasai Belanda dan Raja Buleleng serta Gusti Ketut
Jelantik dikabarkan meninggal dunia dalam pelariannya. Kekalahan laskar
Buleleng itu sebetulnya lebih dipicu oleh ketidakkompakan raja-raja Bali untuk mendukung perjuangan Gusti Ketut Jelantik.
Bali
kini sungguh membutuhkan karakter pemimpin seperti Gusti Ketut Jelantik. Selain
keberanian dan sikap tegasnya untuk menentang sikap pongah Belanda, yang tak
kalah pentingnya yakni sosoknya sebagai pemimpin yang cerdas, matang dalam
strategi dan jitu dalam bersiasat.
Patih
Jelantik memberi pelajaran berharga bahwa seorang pemimpin Bali tidaklah boleh
hanya tunduk oleh suatu siasat licik pihak-pihak yang ingin menguasai Bali
dengan cara-cara yang sangat merendahkan harga diri orang Bali yakni hanya
dengan selembar kertas berupa kontrak politik. Sebaliknya pemimpin Bali
mestilah memiliki kecerdasan dalam berstrategi dan bersiasat untuk menghadapi
musuh-musuh Bali.
Namun,
seberapa kini para pemimpin daerah ini memiliki kecerdasan dan semangat membela
Ibu Pertiwi seperti Patih Jelantik. Tidakkah malah yang terjadi pemimpin kita
begitu mudah diperdaya, diolok-olok sehingga Bali
kian terkoyak? Sekali lagi, Bali kini sungguh-sungguh merindukan seorang Patih
Jelantik. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar