Teks: I Made Sujaya, Foto: Istimewa
Selain hari baik untuk melangsungkan
pernikahan, masyarakat Bali juga mengenal hari buruk yang mesti dijauhi jika
hendak melaksanakan upacara pernikahan. Ada
beragam hari yang dianggap pantang untuk dipilih untuk melangsungkan
pernikahan. Beberapa di antaranya, rangda
tiga, was penganten dan uncal balung, panglong, dan ingkel wong.
Rangda tiga merupakan wuku tertentu yang dianggap buruk untuk melangsungkan pernikahan. Wuku-wuku itu yakni Wariga, Warigadean,
Pujut, Pahang, Menail dan Prangbakat. Ada keyakinan, jika menikah pada saat rangda tiga, perkawinan bisa berakhir
dengan perceraian. “Rangda itu
artinya janda (bisa juga duda). Rangda tiga artinya tiga kali menjadi
janda atau duda, artinya pernikahan akan selalu gagal,” ujar penyusun kalender
Bali dari Buleleng, Gede Marayana.
Sementara was penganten yakni hari-hari tertentu seperti
Minggu Kliwon dan Jumat Pon wuku
Tolu, Minggu Wage dan Sabtu Kliwon wuku
Dungulan, Minggu Umanis dan Sabtu Pahing wuku
Menail serta Minggu Pon dan Sabtu Wage wuku
Dukut. Hari-hari ini juga dianggap kurang baik untuk melangsungkan pernikahan.
Yang paling
dikenal sebagai hari pantangan melangsungkan pernikahan yakni Nguncal Balung. Nguncal
Balung yakni hari sepanjang 35 hari, sejak Buda Pon Sungsang atau sehari
sebelum Sugihan Jawa atau seminggu sebelum Galungan hingga Buda Kliwon Wuku
Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan. Kala itu, umat
Hindu biasanya dipantangkan untuk melaksanakan upacara-upacara besar, utamanya
yang bersifat ngewangun seperti ngaben dan pernikahan.
Masih
ada juga hari pantangan untuk melangsungkan pernikahan yakni panglong. Panglong yakni hari sesudah bulan purnama. Hari yang dianggap baik
untuk melangsungkan pernikahan yakni pada penanggal
yakni hari sesudah tilem (bulan
mati).
Selain
dari sudut wuku dan hari, pantangan
untuk melaksanakan pernikahan juga berdasarkan ingkel. Jika suatu hari berada dalam ingkel wong, hari itu juga dianggap tidak baik untuk melaksanakan pernikahan.
“Ingkel wong artinya hari-hari naas bagi
manusia. Karenanya, saat itu tidak baik melaksanakan kegiatan atau upacara yang
berkaitan dengan manusia termasuk pernikahan,” kata Gede Marayana.
Namun,
penekun wariga yang juga dosen Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha) IB
Putra Manik Aryana menyatakan tradisi padewasan
di Bali tidaklah kaku benar. Tradisi padewasan
bisa diberlakukan secara luwes, sesuai dengan kepentingan yang lebih besar.
Putra
Manik mencontohkan sebuah kasus seorang perempuan yang sedang mengandung. Pacar
perempuan itu sudah siap bertanggung jawab untuk menikahi perempuan itu. Namun,
belum ada padewasan yang dianggap paling baik untuk melangsungkan pernikahan.
Jika
ditunggu padewasan yang paling baik, anak yang lahir dari perempuan itu bisa
dikategorikan sebagai anak bebinjat
(anak haram). Karena itu, dibijaksanai untuk memilih hari yang dianggap kurang
baik untuk upacara pernikahan dengan menyertakan caru pemarisudha mala dewasa.
“Caru pemarisudha mala dewasa itu
dilaksanakan pada pagi hari sebelum matahari terbit dan banten caru itu, setelah selesai di-lebar di lebuh (depan
rumah),” kata Manik Aryana.
Maksudnya,
saat para tamu yang datang sebagai manusa
saksi sudah dimaklumi bahwa hari buruk pada pelaksanaan upacara itu sudah
diharmonikan dengan caru pemarisuda mala
dewasa. Dengan begitu, aura buruk yang dibawa orang-orang yang datang
karena pilihan hari yang buruk bisa dinetralisir karena orang-orang itu,
khususnya yang mengerti sudah tahu adanya caru
pemarisudha mala dewasa. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar