Mengenang
Perang Puputan Margarana 20 November 1946
Teks: I Made
Sujaya, Foto: Repro wikipedia.org
20 November
1946 dicatat sebagai tonggak penting sejarah perjuangan rakyat Bali menegakkan
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pada hari itu, sebuah peristiwa perang heroik
tergelar di Desa Marga, Tabanan antara laskar Ciung Wanara pimpinan Letnan
Kolonel I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan Belanda. Peristiwa itu dikenal
dengan nama Puputan Margarana, sebuah perang habis-habisan di medan pertempuran
Marga. Sedikitnya 96 pasukan Ciung Wanara gugur, termasuk Ngurah Rai. Peristiwa ini yang mengukuhkan Ngurah Rai menjadi tiang pancang nasionalisme Bali.
I Gusti
Ngurah Rai dilahirkan di Desa Carangsari, Petang, Badung, Bali pada 30 Januari
1917. Dia anak dari seorang punggawa Petang yang sudah tertarik dunia militer
sejak kecil. Untuk memenuhi hasratnya bergabung di dunia militer, Ngurah Rai
bersekolah HIS Denpasar lalu melanjutkan ke MULO di Malang. Ngurah Rai lalu bergabung
dengan sekolah kader militer, Prayodha Bali, Gianyar. Pada tahun 1940, Ngurah
Rai dilantik sebagai Letnan II yang kemudian melanjutkan pendidikan di Corps
Opleiding Voor Reserve Officieren (CORO), Magelang dan Pendidikan Artileri,
Malang.
Ketika Jepang
menjajah Indonesia, Ngurah Rai sempat menjadi intel sekutu di daerah Bali dan
Lombok. Setelah kabar Indonesia merdeka pada tahun 1945, Ngurah Rai menjadi
komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Sunda Kecil. Sebagai komandan TKR Sunda
Kecil, Ngurah Rai sempat datang ke Yogyakarta, markas pusat TKR. Di situlah dia
dilantik secara resmi sebagai Komandan Resimen Sunda Kecil berpangkat Letnan
Kolonel.
Namun,
sepulang dari Yogyakarta, Bali telah diduduki kembali oleh Belanda yang telah
mendaratkan 2.000 pasukan setelah mempengaruhi raja-raja Bali. Hal ini membuat
geram Ngurah Rai. Dia lebih kecewa lagi manakala Perjanjian Linggarjati antara
pemerintah Belanda dan pemerintah Indonesia menyebutkan bahwa pemerintah
Belanda mengakui kekuasaan Indonesia yang meliputi pulau Jawa, Madura dan
Sumatera. Sedangkan Bali diakui menjadi bagian dari negara Indonesia Timur
bikinan Belanda.
Dari sinilah
nasionalisme Ngurah Rai dikokohkan. Bersama lascar Ciung Wanara yang
dipimpinnya, Ngurah Rai terus mengibarkan bendera perlawanan. Yang paling
monumental tentu saja surat jawaban Ngurah Rai yang menolak diajak berdamai
oleh Belanda. Dalam surat tertanggal 18 Mei 1946, Ngurah Rai berkata, “Soal peroendingan kami serahkan kepada
kebijaksanaan pemimpin2 kita di Djawa. Bali boekan tempatnya peroendingan diplomatik.
Dan saja bukan kompromis. Saja atas nama rakjat hanja menghendaki lenjapnja Belanda
dari poelau Bali atau kami sanggoep dan berdjandji bertempoer teroes sampai
tjita2 kita tertjapai.”
Peristiwa
penting yang patut dicatat, yakni pada 18 November 1946, laskar Ciung Wanara menyerang
tangsi NICA di Tabanan. Penyerangan ini sukses karena laskar Ciung Wanara
berhasil membuat polisi NICA menyerah dan merampas senjata mereka.
Peristiwa
Tabanan ini memicu kemarahan Belanda sehingga melipatgandakan pasukannya
menyerang laskar Ngurah Rai. Dua hari setelah penyerangan tangsi NICA di
Tabanan, pecahlah perang hebat di Marga. Lantaran semakin terkepung dan
persenjataan tidak seimbang, Ngurah Rai memutuskan mengadakan perang puputan,
perang penghabisan untuk menunjukkan ketidaksudian mereka terhadap penjajahan
Belanda. Akhirnya, tepat pada sore hari, Ngurah Rai bersama sekitar 95
pasukannya gugur di Margarana. Ngurah Rai gugur dalam usia masih muda, 29
tahun.
Untuk
mengenang peristiwa heroik Puputan Margarana dibangunlah sebuah monumen di
bekas lokasi pertempuran pada tahun 1954. Pemerintah RI menganugerahi Ngurah Rai Bintang
Mahaputra dan kenaikan pangkat menjadi Brigjen TNI (anumerta). Tak hanya itu,
ia juga mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No
63/TK/1975 tanggal 9 Agustus 1975. Namanya juga kemudian diabadikan sebagai
nama bandar udara di Tuban, Badung. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar