Teks dan Foto: I Made Sujaya
Sepekan menjelang hari raya Galungan hingga 35
hari sesudah Galungan, masyarakat Bali mengenal sebuah rentang waktu khusus
dengan pantangan menggelar upacara-upacara besar, terutama yang bersifat ngewangun (terencana), seperti nganten
(perkawinan), ngaben, nyekah dan lainnya. Rentang waktu itu kerap disebut
dengan istilah nguncal balung. Rentangan
waktu itu dimulai sejak Buda Pon Sungsang, Rabu (16/10) dan berakhir pada Buda
Kliwon Wuku Pahang yang juga kerap disebut sebagai Buda Kliwon Pegat Wakan,
Rabu (27/11) mendatang. Mengapa rentang waktu selama 42 hari disebut nguncal
balung? Mengapa pula pada rentang waktu itu dilarang menggelar upacara-upacara
besar? Lantas, selalukah tradisi ini ditaati kini?
![]() |
Saat nguncal balung dipantangkan menggelar upacara besar, termasuk upacara pernikahan dan ngaben. |
Ketua
Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Pusat, Drs. I Ketut Wiana menjelaskan nguncal berarti ‘membuang’ dan balung berarti ‘tulang’. Karenanya, nguncal balung diartikan sebagai ‘saat membuang
atau melepas tulang’. Wiana menduga, nguncal
balung dimaksudkan untuk mengurangi penyembelihan hewan.
Dikaitkan
dengan munculnya pantangan menggelar aneka upacara besar saat Nguncal Balung,
Wiana mengatakan sejak pelaksanaan Karya Eka Dasa Rudra, tradisi itu
disesuaikan. Artinya, pantangan itu tidak diberlakukan kaku sekali. “Sistem
beragama itu mesti terus berubah biar agama tidak menjadi beban,” kata Wiana.
Penulis
buku-buku agama Hindu, I Gusti Ketut Widana melihat secara filosofis nguncal Bbalung dapat dimaknai sebagai
wujud melepaskan kekuatan Sang Kala Tiga atau sifat-sifat kala menuju kekuatan
Sanghyang Tiga Wisesa. Sang Kala Tiga yang dimaksud tidak lain dari Sang Bhuta
Galungan yang turun menggoda umat menjelang hari Galungan.
Mengenai
pantangan menggelar upacara saat nguncal
balung, secara tradisional masyarakat Bali memahami karena dari sisi padewasan, waktu sepanjang rentangan
Buda Pon Sungsang hingga Buda Kliwon Pahang dianggap dewasa yang kurang baik. Saat itu dewasa yang ada dianggap tidak memiliki balung, tidak memiliki tulang, tidak memiliki pengukuh.
Karenanya,
tidak dianjurkan untuk melaksanakan upacara besar yang bersifat ngewangun pada saat itu. Kecuali untuk
upacara-upacara yang bersifat rutin seperti tegak
otonan atau tegak piodalan tetap
bisa dilaksanakan, tidak digeser.
Selain
itu, pelaksanaan upacara bhuta yadnya
semisal tawur juga tidak diperkenankan selama nguncal balung. Seperti tersurat dalam lontar Kusumadewa Widhi yang dikutip majalah Sarad No. 39, Juni 2003,
tawur sasih Kasanga hendaknya diselenggarakan pada Tilem. Akan tetapi, jika
bertepatan dengan wuku Sungsang,
Dungulan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut dan Pahang, maka tawur pada sasih Kasanga tidak boleh diselenggarakan sesudah wuku Dungulan
atau sebelum wuku Pahang.
Pelarangan
juga diberlakukan terhadap upacara melasti
sebagai simbol penyucian buwana agung
dan penyepian sebagai penyucian bhuwana
alit. Karya Panca Wali Krama juga tidak diperkenenkan digelar mulai Wuku
Sungsang hingga Pahang.
Tak
hanya ritual keagamaan, sejumlah aktivitas seperti membangun rumah serta
membuat tempat pemujaan dipantangkan selama nguncal
balung. Hal ini didasari pemikiran selama nguncal balung, para dewa dalam keadaan somia. Kondisi ini dianggap
berpengaruh terhadap semua ciptaan-nya. Tumbuh-tumbuhan, terutama kayu,
binatang, manusia serta unsur alam lainnya dianggap tidak mempunyai kekuatan
sebagaimana biasanya.
Namun,
di sejumlah tempat, khususnya di Denpasar dan Badung, tradisi nguncal balung sudah mengalami
pergeseran. Pantangan menggelar upacara sepanjang nguncal balung kerap kali diabaikan. Tak jarang upacara nganten atau ngaben dilaksanakan dalam rentang waktu nguncal balung.
“Meskipun
digelar dalam rentang waktu nguncal
balung, upacara berjalan lancar-lancar saja. Tak ada kendala atau pun
kejadian buruk,” ujar Nyoman Kartika, seorang warga Denpasar.
Ketut
Wiana menilai pergeseran itu sebagai hal yang wajar. Tradisi keagamaan memang
tidak selalu berlaku kaku, tetapi disesuaikan dengan situasi dan kondisi zaman.
Tapi,
menganggap tradisi nguncal balung
sekadar mitos tentu juga tidak tepat. Tradisi ini justru mengajari tentang
betapa pentingnya manusia Bali berkonsentrasi atau fokus dalam menjalankan
suatu kegiatan atau upacara. Sepanjang rentang waktu nguncal balung tergelar begitu banyak hari raya yang membutuhkan
konsentrasi umat. Hari-hari raya itu pun tergolong besar, rahinan jagat. Jika
dalam waktu yang penuh hari raya itu lantas menggelar juga upacara besar, tentu
bisa membuat konsentrasi menjadi terbagi.
Tradisi
nguncal balung justru mengajarkan
tentang kepastian waktu pelaksanaan upacara. Jika sepanjang nguncal balung tiada digelar upacara-upacara besar, tentu ada
kepastian pada umat untuk mengatur waktunya. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar