Teks dan Foto: I Made Sujaya
Bagi
masyarakat Bali yang beragama Hindu, bunga merupakan sarana ritual yang sangat
penting. Malah, dapat dikatakan, bunga merupakan sarana persembahan pokok bagi
umat Hindu selain api dan air.
![]() |
Bunga gemitir, salah satu bunga yang pantang digunakan sebagai bahan sesaji |
Namun,
tidak segala jenis bunga bisa dipersembahkan atau digunakan sebagai sarana
dalam persembahyangan. Tradisi pelaksanaan agama Hindu di Bali menyebut
sejumlah jenis bunga yang pantang untuk dipersembahkan.
Secara
prinsip, bunga yang tidak disarankan untuk digunakan sebagai sarana
persembahyangan yakni bunga yang pusuh
(belum kembang), bunga yang sudah layu, bunga yang jatuh dengan sendirinya atau
sudah gugur, bunga yang tumbuh di kuburan serta bunga yang dimakan semut atau
ulat. Pantangan menggunakan bunga-bunga tersebut sebetulnya lebih didasari pada
konsep bunga sebagai persembahan ke hadapan Tuhan sehingga mestilah bunga
tersebut suci, bersih, mekar dan harum.
Khusus
untuk bunga yang dimakan semut atau ulat, alasannya sebetulnya sangat logis.
Bunga yang dimakan ulat dan semut tentu tidak bersih lagi. Mungkin di bunga itu
ada kotoran dari semut atau ulat yang memakannya. Begitu pula bila bunga itu
disumpangkan di sela telinga, nanti telinga bisa kemasukan ulat atau semut.
Selain
itu, ada juga bunga yang dipantangkan untuk dimanfaatkan sebagai sarana sesaji
upacara karena bunga tersebut dimitoskan telah dikutuk oleh dewa. Pendharma wacana (penceramah agama) dan
penulis buku agama Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag., menyebut bunga tulud nyuh atau jempiring alit (Gardenia
augusta Merr) serta bunga salikanta
pantang digunakan untuk sembahyang. Pasalnya, bunga ini disebutkan tidak
mendapatkan penglukatan atau
pembersihan dari Dewa Siwa.
Mitologi
ini termuat dalam lontar Aji Yanantaka.
Diceritakan dalam kerajaan Yanantaka sedang berkecamuk penyakit lepra. Raja dan
para patih juga ikut terserang penyakit tersebut. Semua dukun sudah mencoba
mengobati tetapi tak satu pun ada yang mempan.
Sang
raja kemudian mengutus mahapatihnya untuk menghadap Dewa Siwa mohon
perlindungan. Dewa Siwa bersedia menghilangkan semua penyakit itu. Lantaran
Dewa Siwa berwujud dewa, tidak dapat langsung bertemu dengan manusia, maka
kerajaan Yanantaka di-pralina menjadi hutan belantara. Tidak tampak lagi wujud
manusia.
Setelah
itu, barulah Dewa Siwa turun ke Yanantaka. Semua kayu dan pohon, termasuk
tanaman bunga datang satu per satu mohon penglukatan Dewa Siwa. Namun, hanya
dua pohon bunga yakni jempiring alit dan
salikanta yang tidak mau minta penglukatan Dewa Siwa. Karena itu, Dewa
Siwa mengutuk kedua bunga tersebut tidak boleh dipakai sarana dalam pemujaan.
Pantangan
yang dilatarbelakangi mitos juga berlaku untuk bunga turuk umung atau kedukduk.
Mitologi tentang bunga ini termuat dalam lontar Siwagama. Diceritakan Dewi Uma melahirkan dua orang putra, seorang
berupa raksasa dan seorang sangat tampan diberi nama Sang Kumara. Selesai
melahirkan, kain dalam (tapih) yang
penuh darah itu dicuci dalam telaga Rambawa dan dijemur di sebelahnya. Kain
dalam itu direbut lalat dan tumbuh pohon bunga turuk umung atau kedukduk.
Dewi Uma kemudian memastu bunga turuk
umung atau kedukduk tidak boleh
digunakan persembahan.
“Secara
logika, bunga yang direbut lalat tentu tidak harum baunya, karena kotor/tidak
suci,” kata Wiana.
Bunga
lainnya yang dikenal tidak patut digunakan untuk sarana banten yakni bunga gemitir.
Dalam lontar Kunti Yadnya seperti
dikutip Ni Made Sri Arwati, bunga gemitir disebut-sebut berasal dari darah Dewi
Durga (sakti Dewa Siwa). Namun, setelah mendapat penglukatan dari Dewa Siwa seperti dinyatakan dalam lontar Aji Yanantaka, bunga gemitir boleh digunakan untuk
persembahan. Akan tetapi, hanya yang kembangnya bagus dan berwarna
kekuning-kuningan. Bunga gemitir yang
warnanya merah tidak diperkenankan untuk digunakan sebagai sarana upakara.
“Selain
itu, bunga gemitir juga tidak baik dipakai sarana memercikkan tirtha, karena cepat busuk dan
mengundang bibit penyakit,” ujar Sri Arwati. (b.)
nice
BalasHapus