Teks dan Foto: I Made Sujaya
PEKAN ini, manusia Bali memasuki wuku Sungsang. Inilah pekan yang mulai
membuat manusia Bali sibuk karena beberapa hari lagi bakal merayakan hari raya
Galungan. Pada wuku Sungsang ini, manusia Bali merayakan tiga hari penting:
Sugihan Tenten, Sugihan Jawa dan Sugihan Bali. Karena kebetulan bertepatan
dengan rentang Sasih Kapat, akhir pekan ini, manusia Bali juga merayakan
Purnama Kapat, hari purnama yang dianggap paling istimewa.
Menarik
mencermati tiga hari sugihan di wuku
Sungsang ini. Bukan saja karena namanya yang unik, juga maknanya yang tidak
sekadar hari raya biasa. Ketiga hari Sugihan itu, mengajarkan manusia Bali
untuk selalu menapaki jalan penyucian dalam menggapai tujuan, termasuk mencapai
kemenangan.

Sugian
Tenten yang jatuh pada Buda Pon Wuku Sungsang, Rabu (16/10) merupakan sugihan
pertama. Kata tenten, diidentikkan
dengan kata enten yang artinya ‘ingat’.
“Jadi, Sugian Tenten semacam mengingatkan umat Hindu bahwa hari raya Galungan
akan segera tiba, segala kewajiban mesti segera dipersiapkan,” kata Sudarsana.
Sementara
Sugian Jawa dimaknai Sudarsana sebagai pembersihan atau penyucian alam semesta.
Di kalangan masyarakat Bali , pembersihan alam
semesta itu disimbolkan dengan menggelar upacara mererebu di pemerajan
sesuai dengan isi lontar Sundarigama.
Mererebu bermakna sejajar dengan
pembersihan atau penyucian.
Sementara
Dra. Ni Made Sri Arwati dalam buku Upacara
Upakara Agama Hindu Berdasarkan Pawukon menjelaskan Sugihan Jawa, merupakan
hari pesucian pada dewa dan batara yang berstana di sanggah, pemerajan dan
tempat-tempat suci lainnya.
Sugian
Bali dimaknai Sudarsana sebagai pembersihan diri sebagai miniatur dari alam
semesta. Pada saat ini, umat Hindu diharapkan melaksanakan upaya untuk
mengendalikan indria (nafsu atau keinginan-keinginannya).
Sementara
I Gusti Ketut Widana memilih memakai kata Sugihan. Dalam bukunya berjudul Menjawab Pertanyaan Umat, Widana
menyatakan secara filosofis Sugihan Jawa maupun Sugihan Bali memiliki makna
yang sama yaitu rerahinan dengan
tujuan membersih-sucikan bhuwana,
dunia beserta isinya. Hanya saja, kata dia, secara ritual, Sugihan Jawa dan
Sugihan Bali berbeda sasaran.
Sugihan
Jawa bertujuan membersih-sucikan bhuwana
agung (makrokosmos). Sementara Sugihan Bali bertujuan membersih-sucikan bhuwana alit (mikrokosmos). Kedua hari
raya ini, kata dia, mesti dirayakan, bukan salah satunya.
Memang,
hingga kini masih ada pemahaman dari umat Hindu di Bali untuk hanya merayakan
salah satu dari kedua hari raya Sugihan itu. Sugihan Jawa akan dirayakan oleh
umat Hindu Bali yang nenek moyangnya berasal dari Majapahit (Jawa). Sementara
Sugihan Bali akan dirayakan oleh mereka yang nenek moyangnya berasal dari Bali
Aga (Bali Mula).
Menurut
Widana, pendapat lama itu didasarkan pada bunyi lontar Purana Bali Dwipa. Padahal, kata Widana, dalam lontar itu hanya
disebutkan perihal acara penerimaan pajak dari luar Bali
pada Sugihan Jawa dan dari orang-orang Bali Aga pada Sugihan Bali.
“Sepatutnya
tidak ada keraguan lagi untuk melaksanakan kedua hari raya Sugihan secara
berurutan dalam upaya membersihkan bhuwana
agung dan bhuwana alit,” tandas
Widana.
Terlepas
dari semua itu, hari raya Sugihan bisa dipahami sebagai upaya mendidik manusia
Bali untuk menapaki jalan kesucian saat melaksanakan suatu kegiatan atau
upacara sehingga bisa mencapai kejayaan, kemenangan, kesuksesan. Jalan
penyucian, baik diri sendiri maupun alam semesta, menjadi bekal utama sehingga
bisa menghadapi musuh-musuh di dalam diri dan di luar diri mencapai kejayaan di
hari kemenangan, hari Galungan. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar