Teks: I Made Sujaya
Akhir tahun
1965 hingga tahun 1966, Bali benar-benar kelam. Pulau surga nan molek ini
tiba-tiba sontak berubah berdarah-darah. Saling tikam sesama Bali
merebak di mana-mana. Mereka yang menjadi kader, simpatisan atau pun pernah
terlihat ikut hadir dalam suatu acara Partai Komunis Indonesia (PKI) diburu,
dibunuh dan dibantai dengan kejam. Konon, menurut catatan jumlah penduduk Bali yang dibantai dalam tragedi mengerikan itu sekitar
ratusan ribu orang.
Kini,
empat puluh delapan tahun sudah tragedi politik itu berlalu. Namun, bagi
generasi Bali yang lahir tahun 50-an tak
pernah melupakan drama gelap itu. Bahkan, hingga kini, tragedi berdarah-darah
itu menjadi semacam ingatan kolektif yang senantiasa terpelihara dalam benak orang
Bali . Setiap kali tanggal 30 September tiba,
ingatan orang Bali pun terbawa pada masa kelam itu. Apalagi pada masa
pemerintahan Orde Baru, ingatan kolektif itu sengaja direkonstruksi sedemikian
rupa untuk kepentingan kekuasaan.
Tragedi
1965 menjadi salah satu sisi gelap Bali, memang. Peristiwa itu tak pelak
menjuungkirbalikkan citra eksotik Bali dengan penduduknya yang ramah, simpatik,
lugu.
Namun,
sejarah Bali sendiri memang adalah sejarah tentang tragedi politik yang tiada
berkesudahan. Pada masa kekuasaan Majapahit misalnya, tragedi politik begitu
tampak telanjang. Lihat saja pemberontakan-pemberontakan yang terjadi silih
berganti pada masa kepemimpinan Dhalem Di Made.
Bahkan,
tragedi politik yang mirip dengan tragedi 1965 disebut-sebut pernah terjadi
pada masa pemberontakan I Gusti Pande Bhasa. Dalam buku Asal-usul Warga Pande di Bali yang ditulis Nyoman Wista Darmada dan
Made Gede Sutama mencantumkan nukilan peristiwa tragedi politik masa Gelgel
itu. Mengutip isi lontar Kundalini,
Wista Darmada dan Gede Sutama menyebut pascakalahnya I Gusti Pande Bhasa, warga
Pande diburu dan dihabisi. Namun, ada warga Pande yang bisa selamat karena
disembunyikan Jangga Wadita di bawah air terjun Bantang Matiyem.
Bila
teks ini benar, berarti tragedi politik 1965 merupakan pengulangan dari tragedi
warga Pande pada masa Gelgel. Latar belakangnya juga sama, ada pemberontakan yang
gagal yang kemudian diikuti dengan pemusnahan orang-orang yang mendukung
pemberontakan itu atau dicap ikut mendukung.
Jauh
sebelumnya, pada masa Bali Kuno, pembantaian juga mengemuka. Sikap beringas
dalam wujud penyerangan terhadap penduduk desa lain juga banyak tercatat dalam
sumber-sumber prasasti pada masa Bali Kuno. Sebagaimana termuat dalam Prasasti
Cempaga C yang dikeluarkan Raja Bhatara Sri Mahaguru pada tahun 1264 Saka,
penduduk Desa Tumpuhyang menyerang Desa Cempaga yang merupakan desa
tetangganya. Penyerangan itu disertai dengan tindakan merampok, menawan dan
membunuh penduduk Desa Cempaga. Karena tidak mampu menghadapi serangan penduduk
Desa Tumpuhyang, penduduk Desa Cempaga pun pergi ke desa-desa lain menyelamatkan
diri.
Aksi serupa juga dilakukan penduduk
Desa Baturaya yang merampas dan menduduki sebagian wilayah Desa Tumbu. Seperti
dimuat dalam Prasasti Tumbu yang juga dikeluarkan Raja Bhatara Mahaguru tahun
1247 Saka, pendudukan ini juga disertai dengan pembakaran rumah, perampokan dan
pembunuhan. Prasasti Sembiran A I juga memuat tentang penyerangan yang kerap
dialami Desa Julah. (b.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar