Teks dan Foto: I Made Sujaya
Banten atau sarana upakara yadnya pada hakikatnya merupakan wujud fisik ungkapan rasa bhakti umat kepada Ida Batara. Karena
itu, banten merupakan barang suci,
bukan barang dagangan. Pandangan ini dikemukakan penulis buku-buku agama Hindu
yang juga Ketua Bidang Keagamaan dan Lintas Iman PHDI Pusat, Drs. I Ketut
Wiana, M.Ag., menanggapi fenomena umat yang melaksanakan ritual yadnya dengan sarana upakara yang serbabeli.
“Hubungan
antara tapini atau sarati banten dengan umat yang menggelar
yadnya bukanlah hubungan pedagang
dengan pembeli. Kalau pun ada imbal balik, itu dalam konteks maturan dan nunas,” kata Wiana.
Umat maturan berbagai perlengkapan membuat banten, termasuk uang yang dibutuhkan
untuk banten itu, umat nunas banten kepada tapini atau
sarati mengacu pada sastra agama.
Pada hubungan maturan-nunas itu
semestinya sekaligus terjadi transfer pemahaman dan keterampilan dalam membuat banten.
Menurut
Wiana, banten juga merupakan wujud
pelestarian alam. Isi banten adalah sarwaprani (segala isi alam). Melalui banten, umat dididik menghargai alam
lalu menjaganya.
“Yang terjadi
malah sebaliknya, orang makin banyak bikin upacara berbiaya mahal, banten-nya banyak dan megah, tetapi alam
juga makin rusak. Ini pertanda pemahaman tentang hakikat banten, hakikat yadnya
melenceng bahkan bertolak belakang,” kata Wiana.
Salah Kaprah “Nunas Puput”
Hal senada
diungkapkan Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, sulinggih dari Griya Kutuh, Kuta. Ida Pandita mengakui sering ada
umat yang datang ke griya meminta
tuntunan mengenai sarana upakara yang
dibuat tatkala umat itu mengadakan upacara. Sesuai permintaan umat itu, Ida
Pandita pun memberikan buku tuntunan yadnya.
“Eh, dia
malah menyampaikan ‘tiang nunas puput’,
tak mau repot mempelajari buku tuntunan yadnya
itu. Saya juga sering bingung, apa dan bagaimana yang puput itu. Padahal, kunci kesuksesan sebuah yadnya itu ada pada sang
maduwe karya. Apakah dia memahami hakikat yadnya itu, meresapinya, memaknai dan menjadikannya laku diri,”
kata Ida Pandita yang duduk selaku anggota Sabha Pandita PHDI Pusat ini.
Ida Pandita
mengakui fenomena mayadnya mahal dan
serbabeli memang masalah yang kompleks. Kerap kali kecenderungan itu terjadi
bukan saja karena faktor membaiknya perekonomian warga, tetapi juga
ketidakberdayaan umat yang dibiarkan terpelihara.
Menurut Ida
Pandita, kondisi ini sebetulnya bisa diperbaiki melalui desa adat. Sebagai
lembaga komunitas adat Bali yang berwibawa, desa adat harus berani mendobrak
kebiasaan yang berpotensi menggerus adat dan budaya Bali itu.
“Caranya
memulai dengan menyusun buku khusus tuntunan yadnya di desa adat. Misalnya, tuntunan upacara ngaben, tuntunan upacara nyekah, hingga tuntunan upacara pujawali di masing-masing pura,” kata
Ida Pandita Mpu yang juga penulis buku-buku agama Hindu ini.
Buku tuntunan
upacara itu mesti memuat lengkap bentuk, fungsi dan makna upacara. Dalam buku
itu mesti dijelaskan, mana sarana upakara
inti yang mutlak ada, dan mana banten
penunjang sehingga bisa disesuaikan dengan kemampuan. Buku itu digodok dan
didiskusikan bersama kemudian disahkan di paruman desa sehingga bisa dijadikan
pegangan bagi seluruh krama.
Upaya
menyusun buku tuntunan upacara itu juga harus diikuti dengan penataran atau
pelatihan membuat sarana upakara bagi
para pemangku, sarati banten serta krama
secara umum. Materi yang diajarkan tentu saja seputar sarana upakara yang digunakan dalam upacara yadnya di desa adat sesuai dengan
tuntunan dalam buku. (b.)
Patut pisan pemahaman yg kurang tentang agama lan budaya menimbulkan konflik sosial meras terbebani dan menimbulkan konversi kepercayaan pada generasi muda.
BalasHapus